Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keponakan Setya Novanto, Irvanto Hendra Pambudi membacakan nota pembelaan dirinya atas tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Dalam pledoinya, Irvanto mengaku kecewa dengan tuntutan jaksa.
Alasannya hukuman yang diberikan kepada dirinya lebih berat dibandingkan terdakwa lain yang kini sudah berstatus narapidana.
Baca: 62 Adegan Akan Diperagakan dalam Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Satu Keluarga di Bekasi
"Tuntutan pada saya sangat berat, padahal pelaku-pelaku lain yang nyata-nyata mendapatkan keuntungan yaitu Irman, Sugiharto, Andi Agustinus, Anang Sugiana telah dituntut jauh lebih rendah dibanding saya," ucap Irvanto, Rabu (21/11/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Ada perbedaan yang mencolok antara tuntutan yang diberikan kepada dirinya dengan terdakwa lain dalam kasus e-KTP membuat Irvanto merasa diperlakukan tidak adil.
Baca: Hasil Pemeriksaan, Penyerang Polisi di Lamongan Diduga Terlibat Kelompok Teroris
"Saya sebagai orang awam hukum, sulit memahami perbedaan tuntutan mencolok itu karena tidak sepadan dengan saya yang hanya suruhan, kurir dan perantara untuk Setya Novanto. Saya tidak mendapatkan keuntungan apapun baik uang atau pekerjaan. Dimana keadilan itu," kata Irvanto.
Lebih lanjut Irvanto juga keberatan dengan jaksa KPK yang mengatakan bantahan dirinya tidak didukung bukti.
Irvanto menegaskan kejadian pembagian uang pada sejumlah anggota DPR seperti yang telah diungkap dirinya benar-benar terjadi.
Seluruh rincian pembagian uang, penerima hingga lokasi penerimaan sudah disampaikan Irvanto kepada penyidik.
Itu semua murni agar KPK dapat menguak lebih luas aliran uang e-KTP.
"Saya tetap menyampaikan hal itu walau saya tahu ada bantahan dari ppihak yang saya sampaikan itu," katanya.
Diketahui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, didakwa turut serta melakukan korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Dia didakwa bersama-sama dengan pengusaha Made Oka Masagung. Keduanya berperan menjadi perantara dalam pembagian fee proyek pengadaan barang atau jasa e-KTP untuk sejumlah pihak.
Irvanto dan Made Oka juga turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek itu. Atas perbuatannya, Irvanto dan Made Oka didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.