TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yusril Ihza Mahendra, penasihat hukum Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang, mengindikasikan KPU RI tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan PTUN DKI Jakarta Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 mengabulkan gugatan yang diajukan OSO.
"KPU hanya berkelit-kelit tidak mau melaksanakan putusan PTUN karena takut kehilangan muka. Padahal di sini tidak ada kepentingan pribadi. KPU menjalankan tugas negara secara netral dan obyektif," ujar Yusril, kepada wartawan, Rabu (28/11/2018).
Padahal, kata ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu tidak ada pertentangan antara putusan MK, putusan MA dan putusan PTUN. Sifat putusan MK dan MA normatif karena menguji keberlakuan sebuah norma. Sedangkan Putusan PTUN bersifat imperatif, yakni perintah kepada KPU untuk melaksanakan.
Baca: KPU Tunda Pengambilan Keputusan Soal Pencalonan Anggota DPD RI Oesman Sapta Odang
Mahkamah Konstitusi (MK) menerbitkan putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut dia, putusan MK itu bersifat normatif.
Setelah dikeluarkannya putusan MK, KPU sudah melaksanakan dengan membuat Peraturan KPU Nomor 26 tahun 2018. PKPU 26/2018 memberlakukan penambahan syarat calon anggota DPD harus mundur dari kepengurusan parpol.
Dia menjelaskan, pemberlakuan surut itu dibatalkan oleh MA dalam perkara pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Sehingga, pemberlakuan surut dalam PKPU No 26/2018 dibatalkan MA, maka PTUN mengabulkan gugatan OSO.
"Keputusan KPU tentang DCT calon anggota DPD yang tidak mencantumkan nama OSO dinyatakan batal oleh PTUN. PTUN juga memerintahkan kepada KPU agar mencabut SK tentang DCT yang sekarang ada, dan menerbitkan SK DCT yang baru yang mencantumkan nama OSO didalamnya," kata dia.
Mengacu pada pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kata dia, putusan MK berlaku prospektif ke depan, tidak berlaku retroaktif ke belakang.
Adapun, pendaftaran calon anggota DPD sudah selesai sampai Daftar Calon Sementara (DCS) ketika muncul putusan MK. Oleh karena itu, tidak dimungkinkan lagi penambahan syarat baru bukan pengurus parpol.
Hanya saja, dia melihat, lembaga yang dipimpin Arier Budiman itu memberlakukan putusan MK itu surut ke belakang sebagaimana tertuang dalam PKPU No 26/2018.
"Pemberlakuan surut itulah yang dibatalkan MA. Jadi calon anggota DPD yang tidak ada lagi pengurus parpol baru bisa diberlakukan mulai Pemilu 2024. Kepastian hukum menjadi jelas dengan Putusan MA yang membatalkan pemberlakuan surut Putusan MK sebagaimana tertuang dalam PKPU 26/2018," tegasnya.
Mengenai opsi dari KPU untuk memasukkan OSO ke dalam DCT, namun akan diminta mengundurkan diri setelah terpilih sebagai anggota DPD RI, dia menegaskan, kewenangan KPU hanya sebatas lembaga penyelenggara Pemilu.
"Jadi, kalau pemilu sudah selesai dan calon sudah dilantik, maka selesailah tugas lembaga penyelenggara pemilu itu. KPU tidak bisa campur tangan terlalu jauh apabila seseorang sudah dilantik menjadi anggota badan legislatif," tambahnya.
Sebelumnya, KPU RI masih menunda pengambilan keputusan terkait pencalonan pengurus partai politik mendaftarkan diri sebagai anggota DPD RI di Pemilu 2019.
Semula, lembaga penyelenggara pemilu tersebut akan mengambil sikap melalui rapat pleno antara ketua dan komisioner KPU RI, pada Selasa (27/11/2018).
Namun, sampai saat ini, belum ada keputusan apapun soal nasib pencalonan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO).
Ketua KPU RI, Arief Budiman, memilih menerima perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Pemilu dan staff pengajar Hukum Tata Negara (HTN). Diantaranya, yaitu Kode Inisiatif, Perludem, PUSAKO Andalas, dan Asosiasi Pengajar HTN.
Arief Budiman mengatakan pihaknya menyampaikan pilihan-pilihan yang kemungkinan diambil menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal pencalonan anggota DPD RI dari latar belakang pengurus partai politik.
Lembaga penyelenggara pemilu itu mempunyai pilihan mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Mahkamah Agung (MA), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) soal persyaratan pencalonan pengurus partai politik mendaftarkan diri sebagai anggota DPD RI.
KPU akan menyelesaikan susunan draft didalamnya berisi pendapat para ahli yang sudah didengar keterangan pada beberapa waktu lalu dan hasil audiensi dengan MK. Selain itu, pihaknya juga sudah membahas secara internal.
Sejauh ini, KPU RI sudah menjalankan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Tindaklanjut putusan itu melalui penerbitan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah.
Lalu, untuk putusan MA yang mengabulkan uji materi dari Oesman Sapta Odang, KPU sudah membuat draft sebagai upaya menjalankan putusan. Sejauh ini, putusan MA tidak pernah membatalkan atau tidak mengatakan salah apa yang diputuskan MK dan KPU.
Sedangkan, untuk putusan PTUN Republik Indonesia Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang mengabulkan gugatan yang diajukan OSO.
Untuk putusan PTUN, KPU juga sudah membuat draft bagaimana melaksanakan putusan PTUN yang mengatakan SK 1130 itu dibatalkan dan KPU harus membuat SK baru untuk memasukkan calon DPD di dalam DCT.
Sehingga, langkah selanjutnya menindaklanjuti tiga putusan itu dalam membuat satu naskah.