TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan rencana reuni Aksi 212 telah menggambarkan secara nyata bahwa aksi yang digagas oleh sejumlah elit Islam politik pada 2016 lalu dan coba direpetisi pada 2 Desember 2018 adalah gerakan politik.
"Sebagai sebuah gerakan politik maka kontinuitas gerakan ini menjadi arena politik baru yang akan terus dibangkitkan sejalan dengan agenda-agenda politik formal kenegaraan terutama jelang Pilpres 2019," ujar Hendardi dalam siaran persnya, Jumat (30/11/2018).
Menurut dia Menguasai ruang publik (public space) adalah target para Elite 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah.
"Bagi mereka public space adalah politik," ujar Hendardi.
Baca: PBNU Berharap Reuni 212 Tidak Terjadi Politisasi Agama
Jadi, lanjut dia, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi.
"Disesalkan bahwa gerakan 212 menggunakan pranata dan instrumen agama Islam, yang oleh banyak tokoh-tokoh Islam mainstream justru dianggap memperburuk kualitas keagamaan di Indonesia," katanya.
Apapun alasannya, kata Hendardi, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama.
"Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya," ujarnya.
Baca: TERPOPULER - Pernikahan Crazy Rich Surabaya Viral, Rupanya Ayah Mempelai Pria Tak Asing
Namun demikian, menurut Hendardi, dua tahun hampir berlalu gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik.
"Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk. Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," katanya.