News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pembantaian Pekerja di Papua

Wawancara Khusus dengan Irjen Pol Paulus Waterpauw: Tidak ada Lagi Kelompok Papua Merdeka

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Irjen Pol Paulus Waterpauw (Kompas.com/Kristian Erdianto)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw malang-melintang di Papua. Selama 14 tahun berdinas di Bumi Cendrawasih, ia pernah menjabat Kapolda Papua, Kapolda Papua Barat, Wakapolda Papua, Direktur Reserse dan Kapolres Mimika.

Putra asli Fakfak, umur 55 tahun itu sangat paham seluk-beluk setempat, termasuk mengenai kelompok bersenjata yang dia sebut sebagai keompok pemuda 'free man' penembak mati 16 orang pekerja PT Istaka Karya, pengerjaan proyek pembangunan jembatan Habema-Mugi, Kabupaten Nduga, 1 Desember lalu.

Berikut ini wawancara eksklusif wartawan Tribun Network, Amriyono Prakoso dan Domu D Ambarita dengan Paulus Waterpauw, juga mantan Kapolda Sumatera Utara, yang saat ini bertugas di Mabes Polri.

Wawancara berlangsung santai sambil santap siang di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (17/12) siang.

Tribun: Soal insiden di Nduga, pada 1 Desember lalu, menurut informasi, penyerangan dilakukan kelompok Egianus Kogoya. Apakah selama bertugas di Papua, anda mengenal nama Egianus Kogoya?

Paulus: Tidak. Saya baru tahu nama itu. Dia  mungkin orang baru, ya. Saya belum pernah dengar nama itu sebelumnya. Nama pimpinan yang terkenal sekali sampai sekarang itu adalah Goliath Tabuni.

Dulu ada Kelik Kwalik (seorang pemimpin separatis senior dan komandan dari sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kelik meninggal di Timika, 16 Desember 2009, Red). Kalau Egianus itu, saya tidak mengetahui.

Apakah anda, yang selama 14 tahun bertugas di Papua, mengtahui kelompok ini dan siapa saja anggotanya?

Setahu saya sebenarnya, anggota KKB ini berisi anak-anak muda. Saya bilangnya mereka ini "Free Man". Manusia yang bebas. Mereka ini yang sudah nyaman dengan posisinya.

Mendapatkan apa yang mereka mau dengan cara memaksa, mengancam bahkan menghilangkan nyawa. Lebih mudah, karena mereka punya senjata kan?

Sebenarnya, apakah masih ada kelompok OPM uang ini merdeka. Ataukah betul, OPM sudah tidak ada setelah Kelik Kwalik meninggal?

Secara ideologi, saya pikir tidak ada lagi kelompok yang ingin Papua Merdeka. Sedangkan KKB ini diisi anak-anak muda yang ingin berkuasa di tanah Papua. Mereka yang hidupnya bebas dan bergantung pada kehidupan yang seperti itu

Berdasarkan foto-foto yang tersebar, kelompok bersenjata ini punya banyak senjata, termasuk yang sudha modern. Mereka dapat senjatanya dari mana?

Biasanya merampas punya aparat.

Kok bisa? Bagaimana caranya?

Tidak jarang aparat, baik TNI ataupun Polisi jalan sendirian atau kelompok yang tidak besar untuk menyisir ke hutan-hutan. Pergerakan mereka (TNI/Polri) ini terpantau oleh mereka (kelompok bersenjata).

Nah, di saat lengah, senjata dirampas. Kalau kelompok aparat ini cukup besar, mereka berondong peluru. Semakin banyak peluru yang bisa dirampas ini, mereka semakin tinggi begitu. Tinggi hati gitu.

Ataukah mungkin ada pihak luar, misalnya dari dalam negeri atau dari luar negeri,  yang memasok senjata kepada mereka?

Rampasan dari aparat saja, setahu saya.

Apakah ada bedanya pergerakan mereka dari dulu sampai sekarang?

Ada perbedaan. Mereka dilatih. Saya curiga ada mantan aparat yang melatih mereka. Dulu itu, saya sudah pecat beberapa orang. Kemungkinan mantan aparat ini ada yang dari polisi, ada juga yang dari TNI yang telah dipecat dan menjadi sipil terlatih.

Mungkin mantan desertir itu yang melatih mereka. Sekarang kan, mereka sudah pakai senjata yang punya tele. Kelompok bersenjata ini sudah semakin modern.

Untuk kebutuhan kehidupan mereka, bagaimana maksudnya?

Baca: 5 Fakta Terbaru terkait KKB Papua, Ternyata Miliki Panglima Tinggi Selain Egianus Kogeya

Kelompok bersenjata ini biasa merampok warga. Apabila, warga tidak kasih, mereka biasa ancam. Kareka mereka merasa berkuasa, punya senjata, maka asal main ambil saja. Ada hewan babi atau ayam warga misalnya, mereka tinggal minta. Ada anak gadis, mereka ini tinggal main ambil. Warga ketakutan sebenarnya kalau mau melapor ke aparat.

Apakah tidak ada bantuan lain? Dari Jakarta, misalnya?

Saya pernah buat analisis jaring laba-laba.  Ada juga mereka dapat bantuan dari luar. Negara tetangga (Irjen Paulus Waterpauw tidak menyebut nama negara) kita juga bantu mereka.

Negara tetangga?

Iya ada beberapa dari luar lah.

Baca: Jadi Alat Propaganda, Polisi Blokir 20 Akun Medsos Milik Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua

Sebenarnya apa latar belakang soal pembantaian di Nduga ini? Apa sempat ada masalah sebelumnya?

Dulu, kalau di Nduga ini memang ada 11 masalah yang harus diselesaikan. Terutama masalah HAM. Pak Luhut (Menkopolhukam dijabat Luhut Binsar Panjaitan, 12 Agustus 2015 s/d 27 Juli 2016, Red), dulu sempat minta saya, ketika menjadi Kapolda Papua dan pihak TNI untuk segera menyelesaikan masalah-masalah HAM ini, termasuk kasus Mapenduma 96.

Beberapa sudah selesai. Kalau untuk yang penembakan terakhir ini, saya tidak tahu persis apa latar belakangnya. Apa terkait atau tidak dengan sebelumnya? Saya tidak tahu. (Operasi militer untuk membebaskan peneliti dari Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka.

Operasi dimulai 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut dan berakhir 9 Mei 1996 setelah penyerbuan Kopassus ke markas OPM di Desa Geselama, Mimika. Peyerbuan itu belakangan dianggap melanggar hak asasi manusia, Red)

Sebagai orang asli kelahiran Papua dan jenderal polisi yang 14 tahun bertugas di Papua, kira-kira apa solusi terhadap kekerasan yang berulang kali terjadi di Papua?

Saya kurang melihat ada gerakan dari kepala daerah atau pemerintah daerah setempat untuk mengajak diskusi kelompok-kelompok ini.

Baca: Fakta Terkini Kasus KKB Papua, Wiranto Ungkap Alasan Tidak Ada Kompromi dan 3 Permintaan KKB

Seharusnya, pemerintah setempat mengajak kelompok ini untuk diskusi. Ajak bicara. Sekali pertemuan, masih ada pertanyaan, ajak lagi untuk kedua kalinya. Masih ada yang tidak paham, ajak lagi yang ketiga.

Begitu seterusnya, sampai mereka paham. Wajar, karena mereka orang tua banyak berpendidikan rendah. Atau anak muda, belum tentu punya wawasan yang cukup. Itu yang saya lakukan dulu sehingga bisa memberi solusi yang berempati. Ini yang saya tidak lihat dari pemerintah daerah atau DPRD atau  setempat saat ini.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini