TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Univiversitas Padjadjaran, Bandung, Muradi menilai sepanjang 2018 dan babak pertama kampanye dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih membuat publik bingung.
Karena secara konten kampanye, dua pasangan calon, baik Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin (01) maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (02), belum sepenuhnya atau bahkan belum disentuh.
"Masih terjebak gimmick dan juga saling sindir yang tidak cukup mencerdaskan bahkan cenderung membuat pengkubuan antar dua pendukung makin meruncing," ujar Muradi kepada Tribunnews.com, Sabtu (22/12/2018).
Lebih dari itu, kampanye yang dilakukan kedua paslon tersebut belum menggugah esensi penguatan demokrasi substansial.
Di satu sisi, posisi paslon capres dan cawapres, Jokowi-Amin yang merupakan petahana cenderung melakukan kampanye normatif yang tidak cukup membuat publik tergerak untuk ikut aktif dalam pesta demokrasi tersebut.
Baca: Jokowi Resmikan Ruas Tol Trans Jawa, Politisi Gerindra Sebut Pencitraan
Bagi kedua paslon, menurut dia, harus serius untuk bisa meyakinkan publik.
Setidaknya publik memiliki atensi politik untuk tertarik dan pada akhirnya ikut terlibat dalam perdebatan program dan perencanaan yang ditawarkan oleh kedua paslon tersebut.
"Yang sayangnya belum dapat disampaikan karena masih terjebak saling sindir dan gimmick yang tidak mencerdaskan," kritiknya.
Tiga bulan sudah berjalan masa kampanye di 2018. Namun kedua paslon masih belum menyampaikan substansi dari program yang akan diusung jika terpilih kembali.
"Mungkin tidak masalah jika petahana, karena sudah menjalankan dan melanjutkan programnya agar terintegrasi dalam skema politik yang diinginkan, semisal nawacita dan kemudian Nawacita 2," jelasnya.
Namun tidak untuk paslon Prabowo-Sandi, yang hingga saat ini belum menyampaikan tawaran alternatif dari apa yang ditawarkan oleh petahana.
Justru pasangan Prabowo-Sandi selalu mewacanakan hal yang tidak cukup jelas dan bertentangan dengan konteks yang ada. Semisal soal harga seporsi nasi ayam.
"Artinya secara substansi, keduanya masih belum memberikan penguatan atas apa yg akan dilakukan jika terpilih. Justru berbalas pantun soal hal-hal yang tidak mencerdaskan publik," tegasnya.
Untuk itu pula ia merekomendasikan agar kedua paslon harus mulai menyentuh diskursus permasalahan bangsa.
Pun diharapkan di 2019, kedua paslon menyampaikan apa yang menjadi program unggulan yang ditawarkan dengan rasionalisasi yang bisa diterima oleh publik.
Ajang tersebut bisa lewat debat capres-cawapres atau menguatkan diskursus tersebut melalui berbagai forum, baik di kampus maupun tempat yang memungkinkan untuk kampanye.
"Hal ini juga memperkuat sosialisasi program keduanya untuk mendapatkan atensi publik," jelasnya.