Guru Besar Fakultan Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali menganggap pengambil alih sebagian besar saham PT Freeport Indonesia merupakan langkah berani yang diambil Presiden Joko Widodo.
Dia mengatakan, banyak pihak mengatakan bahwa Freeport memang sudah saatnya beralih ke tangan Indonesia karena kontraknya akan habis 2021.
Namun, ia menilai pemimpin sebelumnya tak ada yang secara tegas bersikap untuk merebut Freeport untuk dikuasai Indonesia.
Meski kesepakatan disambut suka cita oleh pemerintah, namun bagi ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, langkah ini patut dikritisi.
Menurutnya ini menyedihkan, sebab area tambang yang dikelola Freeport sejak awal adalah milik Indonesia dan tidak pernah menjadi kepunyaan asing. Tak ada yang lebih konyol ketimbang membeli milik sendiri.
“Ini Freeport punya Indonesia, nih, dibeli. Kan goblok,” kata Faisal saat ditemui di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/12/2018) siang.
Menurut analisis Rheinald Kasali, yang dimiliki Indonesia adalah kekayaan alamnya meliputi tanah, tambang emas, tembaga, dan sebagainya. Sementara Freeport merupakan perusahaan yang mengelola kekayaan alam Indonesia.
PTFI juga tetap membayar pajak hingga royalti, bahkan salah satu penyumbang pajak terbesar.
"PT ini bukan milik kita. Itu dibawa asing ke tanah Indonesia dan kalau mereka diusir, pasti aset-asetnya itu diangkut semua keluar," kata Rhenald.
Lain halnya jika Indonesia hanya ingin menguasai tanahnya. Indonesia bisa saja mengusir Freeport dan membangun perusahaan baru di atasnya. Namun, kata Rhenald, butuh waktu puluhan tahun untuk membangunnya dan membutuhkan biaya jauh lebih besar.
“Maka lucu yang bilang goblok bahwa tahun 2021 sudah otomatis semua jadi milik kita lalu ngapain harus dibayar? Mereka mungkin kurang baca bahwa Kontrak Karya (KK) pertambangan ala Freeport ini tidak sama dengan KK di sektor migas yang kalau sudah berakhir akan jadi milik kita,” ucapnya kembali.
Global Bond
Lalu, apakah bisnis atau global bond yang dipakai untuk membiayai divestasi ini tak beresiko?
“Pastilah,” tambah Rhenald, “Namanya juga bisnis, mana ada bisnis atau penbiayaan yang tak beresiko? Lebih beresiko lagi kalau belinya pakai loan atau APBN karena Rupiah akan langsung tertekan. Ini kan kita berada di tengah-tengah era trade war. Begitu pinjam pakai loan, maka tahun depan sudah langsung harus bayar interest besar-besaran dan pokoknya sekaligus. Beda dengan bond. Pokoknya dibayar di belakang. Artinya kita bisa menabung, dapat bunga pula”.
Dijelaskan Ebitda Freeport besarnya $4B per tahun, untungnya sekitar $2B. Maka kalau Indonesia beli sahamnya dalam skema divestasi ini senilai $4B, dalam 4 tahun global bond itu sudah bisa dibayar dari devidennya saja.
“Lalu kita akan dapat PBB yang dulu tak pernah dibayar Freeport, dapat bea keluar, dapat smelter. Kini Freeport lebih kooperatif karena mereka mendapat lawan yang seimbang. Indonesia harus percaya diri. Harus bangga dengan equal position ini,” tutupnya.