Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Denyut kehidupan warga Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melatik, Kota Bekasi, Jawa Barat, merepresentasikan bagaimana Indonesia semestinya.
Toleransi tetap utuh seiring berkembangnya tiga keyakinan berbeda yang dianut warga setempat.
Di kampung ini ada 2 gereja dan satu masjid, yakni Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik Santo Servatius serta Masjid Al Jauhar Yasfi, yang berdiri berdampingan.
Pemeluk agamanya pun rukun sedari dulu. Suasana guyub di tempat yang berjuluk Kampung Pancasila ini dapat terjaga berkat peran orang-orang yang tinggal di dalamnya, salah satunya Matheus Nalih Ungin.
Baca: Tak Hanya Lagu 'Kemarin', Momen Ini Juga Menggambarkan Kondisi Ifan Seventeen Saat Ini
Pria berusia 55 tahun ini dikenal getol merawat kerukunan umat beragama di Kampung Sawah.
Hanya ada satu alasan Matheus berlaku demikian. Dia sadar kerukunan di tempat tinggalnya ini merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara.
Jadi, bila ia tidak ikut bersemangat menjaganya, kerukunan yang telah terbangun turun temurun ini bisa goyah. Masih terang dalam ingatannya tentang beberapa peristiwa yang dapat merusak paguyuban di Kampung Sawah.
Baca: Suara Dentuman Misterius Terdengar di Cianjur dan Sumsel, Warganet Desak BMKG Beri Penjelasan
Pernah suatu ketika dirinya memprotes kehadiran kompleks perumahan mewah yang sengaja dibangun secara eksklusif.
“Contohnya perumahan cluster, itu cukup mengganggu buat kami. Mereka jadi tidak membaur dengan kami,” ujar Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Santo Servatius itu kepada Tribunnews.com, Selasa (25/12/2018).
Ia memang tak setuju dengan kehadiran perumahan elite yang tertutup di situ. Terlebih waktu itu alasannya karena khawatir ada pencurian oleh warga kampung.
Baca: Perjuangan Hidup-Mati Willy Siska Selamatkan 2 Anak di Papan Kayu Saat Tsunami Menerjang Anyer
"Kenapa kalian menutup diri dari lingkungan ini? Jangan anggap warga sekitar sini pencuri," cerita dirinya ketika menemui pihak pengembang.
Sejak kejadian itu, ketua RT dan ketua RW sekitar selalu minta pendapat kepada Matheus jika ada rencana pembangunan kompleks perumahan baru. "Bila ingin membuat lingkungan sendiri dan tidak bisa membaur, batalkan pembangunannya," tegasnya.
Dirinya juga pernah melakukan musyawarah kepada pengembang perumahan terkait pembangunan rumah ibadah baru yang dipandang masyarakat sekitar akan mengganggu ketentraman.
Upaya dia berbuah baik, bisa menyadarkan pengembang perumahan. Matheus memang dikenal selalu menjaga ketat tradisi Kampung Sawah.
Dia akan langsung memperlihatkan sikap tak setuju bila mendapati ada orang-orang yang ingin membangun suasana lingkungan sendiri, memaksakan tradisi bawaannya ke Kampung Sawah.
“Kalau Anda tinggal di Kampung Sawah, minum air Kampung Sawah maka anda harus jadi orang Kampung Sawah,” ucap Matheus dengan lantang.
Matheus selalu sigap dalam hal memberi dukungan. Tanpa pandang latar belakang agama, siapapun yang kesulitan sebisa mungkin ia bantu.
Contoh bila ada tetangga yang meninggal, tanpa basa basi, ia berinisiatif mengirimkan tenda, kursi, dan mengabari tetangga lain untuk turut membantu.
Tali Persaudaraan
Sepengetahuannya, sejak awal Kampung Sawah ini terbentuk tak pernah ada perselisihan yang dilatarbelakangi oleh agama.
Hal tersebut terjadi karena hubungan tali persaudaraan sedarah yang sangat kuat. Jika di antara umat beragama terjadi perseteruan, selalu redam karena mereka akhirnya sadar kalau memiliki hubungan darah.
“Ikatan marga sampai sekarang masih menjadi suatu alat yang paling kuat untuk mempertahankan persaudaraan di Kampung Sawah,” tutur Matheus.
Pria berpeci hitam itu mencontohkan sikap fanatisme antara umat Kristen dan Katolik yang dulu sempat terjadi.
“Misal bila ada pernikahan antara umat Kristen dan Katolik, ini tidak akan selesai sampai ada yang mengalah, harus ada yang pindah agama salah satu,” kenang bapak berpeci hitam itu.
Bagusnya pikiran warga tercerahkan dari sikap fanatik itu. Matheus saat ini juga masih terus mengingatkan mereka di Kampung Sawah yang mualaf untuk tetap menggunakan marganya.
Sebab ikatan persaudaraan itu sangat kuat menurutnya. Ya, diakuinya, saat ini memang masih ada tradisi yang merugikan bagi ikatan marga di Kampung Sawah, yakni bila ada yang mualaf maka anak keturunannya tidak bisa menggunakan marga.
“Misal saya mualaf, dan saya punya anak, saya tidak bisa pakai Ungin, tapi bin Matheus, sehingga putus silsilah marganya, itu kerugiannya,” begitu katanya.
Matheus terus mengingatkan hal ini karena persaudaraan warga di Kampung Sawah memang terjadi karena latar sejarah yang kuat.
Katanya, perkembangan Katolik di kampung halamannya baru ada pada tahun 1896 yang pada saat itu dibaptisnya 18 putra Kampung Sawah dari berbagai marga oleh Pastur Bernardus Schweitz.
Saat itu, terjadi perpecahan internal di Kristen Methodist pada tahun 1874.
“Dulu kubu terpecah menjadi dua, yakni Gereja Kulon (barat) sebagai umat Protestan dan Gereja Wetan (timur) sebagai umat Katolik yang dibatasi secara geografis oleh Jalan Raya Kampung Sawah,” cerita Matheus.
Dalam Gereja Kulon ini, terjadi perpecahan internal lagi. Akhirnya, dipelopori seorang guru bernama Nathanael yang menghadap Vikaris Keuskupan Batavia, mereka meminta agar masuk ke Katolik.
Maka dibaptislah 18 putra Kampung Sawah itu oleh keuskupan pada tanggal 6 Oktober 1896.
Pembaptisan 18 putra Kampung Sawah itu menandai berdirinya komunitas Katolik di Kampung Sawah secara de facto. Namun marga Ungin tidak menjadi salah satu orang yang dibaptis dari 18 orang tersebut.
Pada tahun 1800an umat Muslim disebutnya belum terorganisir dengan baik secara kelembagaan. Saat itu juga belum ada rumah ibadah umat Muslim.
Kemudian, pada tahun 1972, pulanglah Kyai Rahmadin Afif dari pondok pesantren yang sekarang pendiri Yasfi.
Sejak kepulangannya, umat Muslim di Kampung Sawah terorganisir dengan baik. Boleh dikatakan ia adalah guru dan tokoh Muslim pertama di Kampung Sawah.
Saat itu didirikan satu Masjid di daerah Pasar Kecapi. Menariknya, bendahara dari pembangunan Masjid tersebut beragama Katolik, almarhum Hasan Pario.
Dulu, katanya, sempat ada upaya untuk merusak kerukunan di Kampung Pancasila ini. Ada pendakwah yang berusaha 'mengompori' umat Muslim Kampung Sawah.
Di saat itu juga Kyai Rahmadin mengambil langkah bijak. Dia mematikan pengeras suara di luar, sehingga hanya terdengar di dalam saja.
“Saya sangat salut dengan Pak Kiai atas keputusannya itu, Pak Kiai mempunyai prinsip tidak boleh ada yang mengotori Kampung Sawah ini, membuat saya dan teman-teman semakin semangat menjaga persatuan,” katanya dengan antusias.
Kehidupan sosial di Kampung Sawah nyatanya memang unik. Warga Kampung Sawah tidak mengedepankan sikap fanatisme. Jadi, bila ada kegiatan yang berhubungan dengan kemasyarakatan tidak ada perselisihan.
Semuanya berbaur dalam lingkungan sosial, tidak ada masalah atau pergesekan.
“Di luar kegiatan keagamaan, saya biasa-biasa aja dan membaur dengan yang lain, ketika kami punya klub sepak bola, klub voli, semua bergabung dan tidak ada masalah. Tetapi saat masuk ke ranah agama, ya kami beribadah masing-masing,” ucap Matheus.
Kata Matheus, warga Kampung Sawah pada umumnya juga terus berupaya menjalankan kegiatan yang dianggap bernilai bagi masyarakat.
Mereka tidak pernah melihat latar belakang agama, tetapi tujuan kegiatan yang dilaksanakan. “Bila warga mengetahui suatu gerakan yang menyangkut kepentingan umum, tanpa pikir panjang mereka turun membantu,” katanya.
Warga Kampung Sawah, termasuk Matheus, juga menjaga sikap saling mengingatkan untuk menjalani kewajiban beragama.
“Misal anda Muslim dan sedang mewawancarai saya, azan pun berkumandang, saya akan mengingatkan anda untuk salat,” jelasnya.
Matheus ingin ikatan persaudaraan ini tetap terjaga. Dia ingin masyarakat terus mengambil bagian dalam kegiatan sosial, misalnya kerja bakti.
Matheus ingin masyarakat bisa melihat manfaat kegiatan gotong royong dan hal lainnya yang secara bersama-sama. m“Kalau saya tidak menghargai mereka, jangan harap mereka menghargai kita, lakukan dulu yang seharusnya, diterima atau tidak urusan lain,” ucapnya.
Matheus sebetulnya tidak pernah merasa dirinya seorang tokoh masyarakat. Namun sikapnya yang turut menjaga pluralitas di Kampung Sawah ini telanjur memunculkan harapan bagi masyarakat.
Setiap ada acara ataupun kegiatan, dan butuh perwakilan dari umat Katolik, nama Matheus yang sering terlintas. “Kadang saya merasa tidak nyaman dengan sebutan tokoh agama, saya koreksi, saya warga yang memiliki kepedulian sosial,” ujarnya.
Matheus dikenal selalu sigap dalam hal memberi dukungan. Tanpa pandang latar belakang agama, siapapun yang kesulitan sebisa mungkin ia bantu.
Ia merasa itu bukan hal buruk, malah menjadi wujud sosial yang ia lakukan. Saat ini Matheus juga bergabung dengan Majelis Umat Beragama bersama tokoh-tokoh lainnya, berusaha menjaga kerukunan di Kampung Sawah.
Mereka sama-sama sadar kehidupan rukun Kampung Sawah bukan hal yang tiba-tiba muncul. “Hidup seperti ini sudah menjadi keseharian kami. Contoh ketika saudara-saudara kami yang Muslim Salat Ied, tanpa disuruh kami hadir di sana, karena itu sudah menjadi peran saya,” kata pria berumur 55 tahun itu.
Setiap hal yang berhubungan dengan keamanan, agama apa pun yang menyelenggarakan, Matheus dan teman-teman seimannya siap menjaga.
Kehadiran Matheus di kalangan umat beragama lainnya pun sangat diterima. Karenanya, Matheus ingin masyarakat Kampung Sawah tetap mencintai suasana seperti sekarang ini yang tidak terbatasi oleh agama.
Dia berharap kerukunan terus terjaga di tengah perkembangan teknologi saat ini. “Kalau ada teknologi yang mampu mengembangkan kerukunan ini, malah itu lebih baik,” harap laki-laki kelahiran 1963 ini.
Matheus juga berpesan kepada generasi milenial, untuk tetap menjaga lingkungan yang ada dengan baik.