Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan penyidik Bareskrim Polri tengah mendalami sebuah grup WhatsApp (WA) bernama 'Politik Sabana Minang'.
Grup tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan kasus hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos serta persebarannya.
Dedi mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman terhadap grup itu usai menerima laporan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca: Mahfud MD: Tweet Andi Arief Itu Termasuk Hoaks
Baca: Soroti Hoaks Surat Suara Tercoblos, Boni Hargens: Ada Upaya Kacaukan Pemilu 2019
"Tim siber sedang mendalami yang membuat dan memviralkan voice (suara) serta narasi ke media sosial. Ini ada beberapa barang bukti, seperti print out grup WhatsApp atas nama Politik Sabana Minang," ujar Dedi di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (4/1/2019).
Grup WA ini, kata dia, diduga menjadi salah satu tempat beredarnya tulisan dan rekaman suara seputar hoaks tersebut.
Hal itu diperkuat dengan LS yang diketahui bergabung dan menjadi anggota dalam grup WA 'Politik Sabana Minang'.
LS sendiri merupakan satu dari dua orang yang diamankan oleh kepolisian, karena diduga terkait hoaks 7 kontainer surat suara tercoblos.
Selain itu, mantan Wakapolda Kalimantan Tengah tersebut menuturkan jika dalam waktu dekat penyidik akan memanggil sejumlah saksi ahli. Mulai dari saksi ahli hukum pidana, ahli bahasa, hingga ahli Informasi dan Teknologi (ITE).
"(Pemanggilan saksi ahli, - red) biar lebih mengerucut konstruksi hukumnya dalam rangka untuk menentukan siapa tersangka yang membuat kemudian memviralkan ke media sosial. Itu yang akan dikejar penyidik," kata dia.
Jenderal bintang satu tersebut juga mengatakan penyidik bekerja dengan asas kehati-hatian.
Penyidik, lanjutnya, berupaya mencari aktor intelektual dalam kasus yang sempat menghebohkan publik pada Rabu (2/1) malam itu.
"Penyidik juga melakukan asas kehati-hatian, yang penting targetnya harus tuntas sampai ke akar-akarnya, sampai aktor intelektualnya. Sebab, ini bisa mengganggu proses demokrasi di Indonesia," pungkasnya.