Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan suap terkait proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
KPK, Senin (21/1/2019) melakukan pemeriksaan terhadap lima orang saksi.
Mereka terdiri dari pejabat di Kementerian PUPR dan pihak swasta.
Dalam penyidikan yang sedang berjalan, KPK telah menemukan bukti-bukti baru.
Baca: Luncurkan Atribut RedMe, Bukti PDIP dan Jokowi-Kiai Maruf Dukung Kreasi Anak Muda
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya sedang menelusuri aliran dana yang menggunakan sarana perbankan dari pihak swasta ke sejumlah pejabat di Kementerian PUPR.
Selain itu, kata Febri, penyidik juga telah mengidentifikasi adanya 20 proyek di KemenPUPR yang diduga terdapat praktik suap terhadap pejabat di KemenPUPR.
"Jadi, seperti yang kami sampaikan sebelumnya, dugaan penerimaan suap oleh pejabat KemenPUPR ini bukan satu dua atau tiga proyek saja. Saat ini kami sedang identifikasi sekitar 20 proyek di KemenPUPR tersebut," ujar Febri di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/1/2019).
Baca: PDIP Gelar Lomba Desain Berbasis Puisi Negeri Tempe Bukan Negeri Keju
Febri melanjutkan, pihaknya nanti akan meminta keterangan dari pejabat pembuat komitmen lainnya guna mendalami dugaan suap proyek SPAM ini.
"Beberapa PPK lain sudah kami periksa dalam rangkaian penyidikan ini. Nanti, PPK lain juga akan dipanggil sebagai saksi," katanya.
Dalam kasus dugaan suap terkait sejumlah proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kementerian PUPR tahun anggaran 2017-2018 itu, KPK menetapkan 8 orang tersangka.
4 tersangka dari perusahaan yang diduga sebagai pihak pemberi suap yakni Direktur Utama (Dirut) PT Wijaya Kesuma Emindo (PT WKE), Budi Suharto (BSU); Direktur PT WKE, Lily sundarsih (LSU); Direktur PT Tashida Sejahtera Perkasa (TSP), Irene Irma (IIR); dan Direktur PT TSP, Yuliana Enganita Dibyo (YUL).
Kemudian 4 orang pejabat Kementerian PUPR yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suapnya di antaranya Kepala Satuan Kerja (Satker) SPAM Strategis atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) SPAM Lampung, Anggiat Partunggul Nahot Simaremare (ARE); PPK SPAM Katulampa, Meina Woro Kustinah (MWR); Kepala Satker SPAM Darurat, Teuku Moch Nazar (TMN); dan PPK SPAM Toba 1, Donny Sofyan Arifin (DSA).
Anggiat, Meina, Teuku, dan Donny diduga menerima suap untuk mengatur lelang terkait dengan pembangunan SPAM tahun anggaran 2017-2018 di Umbulan 3 Pasuran, Lampung, Toba 1 dan Katulampa.
Baca: Tiga Pemuda di Cianjur Tewas Usai Minum Miras Oplosan
Kemudian, 2 proyek lainnya adalah pengadaan pipa HDPE di Bekasi daerah bencana di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Adapun rinciannya yakni Anggiat menerima Rp350 juta dan USD5.000 untuk pembangunan SPAM Lampung serta Rp500 juta untuk pembangunan SPAM Umbulan 3, Pasuruan, Jawa Timur.
Meina menerima Rp1,42 miliar dan SGD22.100 untuk pembangunan Katulampa.
Adapun tersangka Teuku Moch Nazar diduga menerima Rp2,9 miliar untuk pengadaan pipa HDPE di Bekasi dan Donggala, Palu, Sulawesi Tengah.
Tersangka Donny Sofyan Arifin sejumlah Rp170 juta untuk pembangunan SPAM Toba 1.
Atas uang tersebut, lelang diatur untuk dimenangkan oleh PT WKE dan PT TSP yang dimiliki oleh orang yang sama.
Baca: Ducati Bakal Mewaspadai Jorge Lorenzo di Musim Balap 2019 kata Luigi Dalligna
PT WKE diatur untuk mengerjakan proyek bernilai di atas Rp50 miliar dan PT TSP untuk nilai di bawahnya.
Adapun selama tahun 2017-2018 kedua perusahaan ini memenangkan 12 paket proyek dengan total nilai Rp429 miliar.
Adapun proyek terbesar adalah pembangunan SPAM Kota Bandar Lampung senilai Rp210 miliar.
PT WKE dan PT TSP diinta memberikan fee sebesar 10 persen dari nilai proyek.
Fee tersebut kemudian dibagi 7 persen untuk kepala satker dan 3 persen untuk PPK.
Pada praktiknya, kedua perusahaan ini diminta meberikan sejumlah uang pada proses lelang dan sisanya saat pencairan dana dan penyelesaian proyek.
KPK menyangka empat pejabat Kementerian PUPR melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak yang diduga pemberi, Budi, Lily, Irene Irma, dan Yuliana disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.