TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi Hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril memberikan pandangan hukumnya terkait pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir yang kini menjadi polemik.
Oce Madril mengatakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur mengenai hak Narapidana, termasuk Abu Bakar Baasyir.
Baca: Update Terbaru Abu Bakar Baasyir Bebas, Timbulkan Polemik dan 7 Tanggapan dari Sejumlah Pihak
Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k dijelaskan bahwa Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat yang tata caranya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"PP ini dibentuk untuk memperketat syarat dan tata cara pemberian pembebasan bersyarat bagi kejahatan luar biasa, yang salah satunya terorisme (lainnya termasuk korupsi, narkotika, kejahatan HAM berat) untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata Oce Madril, Selasa (22/1/2019).
Oce Madril mengatakan, PP ini menambahkan 1 ketentuan, yaitu Pasal 43A, yang berbunyi: Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan.
Persyaratan yang dimaksud pasal tersebut yakni bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan; telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar.
Ikrar tersebut berbunyi:
“kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme."
"Mengapa syaratnya diperketat? Sebab tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya merupakan kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat," ucap Oce Madril.
Dengan demikian, lanjut Oce Madril, jika Narapidana terorisme tidak mau menyatakan ikrar kesetiaan terhadap NKRI yang dinyatakan secara tertulis, maka pembebasan bersyarat tidak bisa diberikan, sebab syaratnya tidak terpenuhi.
Diskresi Presiden dan Kaitannya dengan Pembebasan Narapidana
Oce Madril menilai Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memiliki hak prerogatif dan diskresi, tetapi hak-hak itu tetap terbatas.
Pelaksanaan hak-hak itu, kata Oce Madril, dibatasi oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan serta Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Dalam pemberian “Pembebasan Bersyarat”, pemerintah harus mengikuti syarat dan prosedur yang ditetapkan oleh UU Pemasyaratakan dan PP 99 tahun 2012.
"Tidak ada istilah “Pembebasan Tanpa Syarat”. UU hanya mengenal “Pembebasan”, yaitu pembebasan yang dilaksanakan pada saat Narapidana telah selesai menjalani masa pidananya," kata Oce Madril.
Jika Presiden tetap memberikan Pembebasan bagi Narapidana terorisme yang tidak mau berIkrar setia pada NKRI, Oce Madril mengatakan maka Presiden bisa dianggap turut melakukan Pengkhianatan terhadap Negara karena sikap anti-NKRI pada dasarnya adalah bentuk pengkhiatan terhadap negara.
Baca: Soal Baasyir, Fadi Zon : Masa Menkopolhukam Mengoreksi Presiden?
"Kemudian, Presiden dapat didakwa melakukan pelanggaran hukum karena telah melanggar UU Pemasyarakatan dan PP terkait," tutur Oce Madril.
Menurut ketentuan Pasal 7A UUD 1945, Pengkhiatan terhadap Negara adalah salah satu alasan untuk memakzulkan Presiden.