TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), mengaku ikut menghadiri sejumlah pertemuan yang membahas wacana pembebasan narapidana politik Abdu Bakar Ba'asyir.
Menurutnya, soal Ba'asyir telah lama dibahas meskipun kemudian pemerintah memutuskan untuk tidak mengeluarkan Ba'asyir dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, menyatakan Ba'asyir tidak mungkin bebas dari penjara karena menolak menandatangani pernyataan setia kepada Pancasilan dan NKRI.
Tjahjo juga ikut bertanggungjawab secara moral terkait banyaknya kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi dan menjadi pesakitan kasus korupsi. Setidaknya pada 2018 saja sebanyak 34 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Berikut petikan wawancara Tribun Network, Kamis (30/1), terkait posisinya sebagai Mendagri selama empat tahun belakangan ini.
Baca: Teken Kerja Sama dengan Perpusnas, Mendagri Ingatkan Gagasan Bung Karno
Awalnya Presiden Jokowi, seperti disampaikan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, setuju mebebaskan Abu Bakar Ba'asyir, namun kemudian batal. Apa ada pihak yang nyelonong sendiri?
Saya mengikuti rapat-rapat pembahasan hal itu karena menjadi bagian dari polhukam. Prosesnya panjang dan lama. Tapi mohon maaf saya tidak bisa ceritakan.
Terkait dengan Pemilu 2019, apakah sudah dipetakan faktor krusialnya, termasuk waktu untuk penghitungan suara?
Semua hal sudah dibahas dan disimulasikan. Misalnya, kami sudah hitung untuk satu orang pemilih, perlu waktu 11 menit untuk mencoblos lima kartu suara (presiden-wapres, anggota DPD, anggota DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kota/Kabupaten).
Dalam kondisi seperti itu kami memperkirakan para pemilih hanya akan mencoblos partai politik peserta pemilu, bukan nama calon anggota legislatif.
Baca: Mendagri Ajak Masyarakat Serap Informasi Melalui Baca Buku Daripada Media Sosial
Apalagi di kartu suara hanya ada nama tanpa foto.Mengenai penghitungan suara, berdasarkan simulasi, baru selesai menjelang pukul 24.00. Masalahnya, apakah petugas keamanan, para saksi, dan petugas di tempat pemungutan suara, punya cukup energi mulai dari pagi sampai tengah malam. Ini yang perlu kita pikirkan.
Anda sudah 42 tahun berkecimpung di dunia organisasi dan politik. Posisi apa paling enak yang pernah Anda rasakan?
Yang jelas jabatan paling enak ya jadi anggota DPR. Saya sudah enam periode jadi anggota DPR. Anggota parlemen itu paling enak di dunia, bukan hanya di Indonesia.
Bagaimana jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri)?
Saya bisa menikmati selama empat tahun ini, namun saya juga merasa gagal. Pertama saya merasa gagal karena banyak kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Masalah itu memang tak bersinggungan langsung dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) Kemendagri.
Namun itu saya anggap sebagai tanggungjawab moral. Kami memang tak mungkin melakukan pengawasan selama 24 jam terus menerus.
Baca: Mendagri: Satpol PP Harus Sampaikan Keberhasilan Pemerintah, Tapi Dilarang Kampanye
Pekerjaan rumah yang tersisa adalah perekaman KTP elektronik. Tinggal 3 persen yang belum melakukan perekaman, di antaranya di Provinsi Papua, Maluku Utara, dan Sulawesi barat. Proses itu sempat terhambat dua tahun pada masa awal saya menjadi Mendagri.
Ada 96 pejabat Kemendagri yang mengurusi KTP elektrobik harus bolak balik memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kondisi itu bikin stres.