TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Jakarta meminta penjelasan dari Mudzakir, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) soal keabsahan rekaman hasil sadapan penyidik KPK.
Rekaman hasil sadapan penyidik KPK itu menjadi alat bukti di perkara yang menjerat terdakwa Eddy Sindoro.
Eddy Sindoro diproses hukum karena diduga memberikan suap terkait peninjauan kembali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada panitera Edy Nasution.
"Bagaimana sadapan menjadi barang bukti?" tanya Hakim Hariono, selaku ketua majelis hakim pada perkara yang menjerat Eddy Sindoro, menanyakan kepada Mudzakir, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/2/2019).
Mudzakir menjelaskan barang bukti berbeda dengan alat bukti. Menurut dia, barang bukti dipergunakan untuk kejahatan. Dia menegaskan, barang bukti dapat menjadi alat bukti apabila ada keterangan ahli yang menjelaskan.
Baca: Moeldoko Bagi-bagi Buku Saku Capaian Kinerja Empat Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
"Menjadi alat bukti kalau ditangani ahli," kata Mudzakir.
Dia mencontohkan seseorang jenazah korban pembunuhan harus mempunyai surat visum et repertum yang menguatkan mengenai kondisi jenazah tersebut.
"Yang menguatkan ahli yang disebut sebagai mengubah barang bukti menjadi alat bukti," kata dia.
Untuk barang bukti rekaman suara hasil sadap, kata dia, sah atau tidak sah itu merupakan urusan hukum. Sedangkan, untuk kekuatan pembuktian, kata dia, ahli independen yang bisa menjelaskan.
"Apakah keterangan suara? Ahli menentukan mempunyai kekuatan pembuktian atau tidak," kata dia.
Dia menambahkan, pada intinya semua alat bukti yang dipakai di persidangan harus diperoleh secara sah dan terbukti sebagai alat bukti sah.
"Dalam sidang terkait unsur pokok yang didakwakan bertentangan dengan prosedur kekuatan lemah kalau diajukan di sidang kekuatan lemah," tambahnya.
Sebelumnya, Eddy Sindoro didakwa melakukan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dengan uang sejumlah Rp 150 juta dan 50 ribu US Dolar.
Baca: Tak Khawatir Muchdi Pr ke Jokowi, Fadli: Kita Banyak Jenderal Hebat
Dakwaan itu dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2018).
Uang sejumlah tersebut diduga diberikan Eddy Sindoro kepada Edy Nasution untuk memuluskan sejumlah perkara perdata yang menjerat beberapa perusahaan
Eddy Sindoro meminta agar Edy Nasution menunda pelaksanaan proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan mengupayakan agar PT Across Asia Limited (AAL) bisa mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan pailit meskipun waktu pengajuan PK sudah habis.
Aanmaning sendiri dalam dunia hukum merupakan peringatan berupa pemanggilan kepada pihak tereksekusi untuk melaksanakan hasil persidangan perkara serta hasil keputusannya secara sukarela.
Dalam uraiannya JPU KPK menyatakan untuk kasus penundaan aanmaning Eddy Sindoro melalui Wresti Kristian Hesti Susetyowati menyerahkan Rp 100 juta kepada Eddy Sindoro yang diterima oleh Doddy Aryanto Supeno.
Sementara untuk pengajuan PK PT AAL Eddy Sindoro yang juga melalui Wresti menyerahkan uang hadiah sejumlah Rp 50 juta dan 50 ribu US Dolar.
Eddy Sindoro didakwa melakukan pelanggaran pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Edy Nasution sendiri sudah divonis dengan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Doddy Aryanto Supeno divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 150 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.