"Hanya itu, pertahanan negara, tidak ada yang lain," kata Asfinawati.
Selanjutnya, dalam konteks penggabungan polisi dengan TNI ia menyebut dokumen ketiga yakni TAP MPR No 7 tahun 2000 yang juga menegaskan TNI sebagai alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan.
Ia mengatakan, di sana dikatakan tugas pokok TNI di TAP MPR No 7 tahun 2000 yaitu menegakan kedaulatan rakyat, menegakan keutuhan wilayah, serta melindungi segenap tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
"Jadi tidak bisa juga TNI melindungi kita, apabila tidak ada ancaman dan gangguan terhadap bangsa dan negara. Siapa yang melindungi? Ya polisi," kata Asfinawati.
Ia pun mengajak para hadirin untuk membayangkan jika para narasumber dari Koalisi Masyarakat Sipil yang berporfesi sebagai Pengacara, Peneliti, dan Pengamat juga memiliki fungsi pertahanan seperti TNI
"Coba bayangkan kalau kawan-kawan saya di depan ini dikaryakan, Dwi Fungsikan tidak hanya menjadi peneliti, pengamat, serta pengacara tapi juga melindungi negara ini dari perang. Tapi kami latihannya bukan untuk itu. Dalam benak saya pasti dalam waktu singkat negara kita sudah diambil karena tidak punya professionalitas," kata Asfinawati.
Dalam penjelasannya, ia pun mengatakan perbedaan antara fungsi polisi dan TNI dalam kaitannya menjaga keamanan masyarakat dengan melihat sejarah ketika polisi dipisahkan dari ABRI.
Itu karena menurutnya, kedua lembaga itu memiliki fungsi yang sangat berbeda dengan karakter personel yang juga berbeda.
Ia pun mencontohkan situasi di negara lain.
"Di negara lain, ketika ada tentara harus perang ke luar negeri, dia harus disipilkan dalam arti dia harus mendapat pendampingan psikologis supaya tidak menganggap ini masih perang yang sama. Ini semua adalah orang yang bisa ditembak. Karena psikologis kita akan terganggu. Orang-orang yang memang dilatih agar mentalnya kuat untuk menembak, siaga, menusuk dan lain-lain. Memang bukan perannya untuk nerada di wilayah sipil," kata Asfinawati.