TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang kasus korupsi investasi PT Pertamina yang menjerat terdakwa Fredrick Siahaan.
Pada Jumat (15/2/2019) ini, sidang beragenda Ahli Akuntan, Bono Jatmiko. Dia merupakan ahli akuntan yang mengaudit umum, bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saksi ahli ini dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung.
Dia mengaku tidak mempunyai keahlian dalam menghitung kerugian negara. Bono hanya sebagai akuntan umum yang sebelumnya belum pernah menghitung terkait kerugian negara di kasus korupsi.
"Saya akuntan biasa yang mengaudit umum, bukan dari Badan Pemeriksa Keuangan," ujar Bono saat bersaksi di persidangan kasus korupsi investasi PT Pertamina dengan terdakwa Fredrick Siahaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Jumat (15/2/2019).
Bono Jatmiko merupakan ahli akuntan dari kantor akuntan publik (AKP) Drs Soewarno. Sehingga, bukan kapasitas, dia menghitung kerugian negara.
Menurut dia, seharusnya Kejaksaan dapat menggunakan ahli dari BPK menghitung kerugian negara di kasus korupsi investasi Pertamina di Blok BMG Australia pada 2009.
"Tidak biasa menghitung kerugian negara. Lebih ahli yang dari BPK," kata dia.
Baca: Gemma Chan Khawatirkan Wajahnya Saat Latihan Kickboxing untuk Film Captain Marvel
Tim penasihat hukum Fredrick menanyakan terkait keahlian Bono dalam menghitung kerugian negara.
"Ahli biasa menghitung kerugian negara?," tanya tim kuasa hukum Fredrick.
"Tidak biasa menghitung kerugian negara," jawab Bono.
Bono menyebut, BPK lebih ahli untuk menghitung kerugian negara dalam kasus korupsi investasi Pertamina di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia tahun 2009.
"Kalau akuntan negara, BPK, BPKP mana yang lebih ahli?," tanya kembali tim kuasa hukum.
"Lebih ahli BPK," jelas Bono.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014, Karen Agustiawan, didakwa bersama dengan Ferederick S , Siahaan, Direktur Keuangan PT Peetamina, IR. Bayu Kristanto, manajer merger dan akuisisi (M&A) PT Pertamina periode 2008-2010, dan Genades Panjaitan, Legal Consul & Compliance PT Pertamina periode 2009-2015.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Karen telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum telah mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT. Pertamina, yang antara lain diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan Ketentuan atau Pedoman Investasi lainnya.
Ketentuan atau Pedoman Investasi lainnya, yakni dalam Participating Interest (PI) atas Lapangan atau Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia Tahun 2009, yaitu telah memutuskan melakukan Investasi Participating Interest (PI) di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan atau kajian terlebih dahulu.
Baca: Mengurangi Nyeri Haid Dalam 5 Menit Tanpa Obat
Selain itu, menyutujui PI Blok BMG tanpa adanya Due Diligence serta tanpa adanya Analisa Risiko yang kemudian ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA) tanpa adanya pesetujuan dari Bagian Legal dan Dewan Komisaris PT Pertamina.
"Sehingga, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Roc Oil Company Limited Australia," kata TM. Pakpahan, selaku JPU saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Atas perbuatan itu, Karen diduga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 568.066.000.000 atau setidak-tidaknya sejumlah tersebut, sebagaimana tercantum dalam Laporan Perhitungan Kerugian Negara dari Kantor Akuntan Publik Soewarno, akuntan independen, nomor:032/LAI/PPD/KA.SW/XII/2017.
Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Asal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.