Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Eddy Sindoro berulang kali menjawab tidak tahu dan tidak ingat setiap Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mengonfirmasi rekaman percakapan maupun sadapan suara.
Semula, JPU pada KPK menunjukkan rekaman percakapan Blackberry Messenger (BBM) pada 15 Februari 2015.
Pesan itu menyinggung pengurusan perkara dimana ada angka 100.
Namun, Eddy Sindoro membantah ada percakapan tersebut.
Baca: Harga dan Spesifikasi Lengkap Xiaomi Mi 9 & Mi 9 SE, Battle Angel Transparan & RAM Jumbo
Selain itu, dia mengaku tak ingat pernah ada percakapan tersebut.
Selain itu, JPU pada KPK kembali membuka bukti sadapan.
Percakapan Whatsapp (WA) diduga dari ponsel Eddy.
Namun, Eddy kembali membantah.
"Saya tidak tau dan saya tak urus-urusan ini," jawab Eddy, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Jumat (22/2/2019).
Baca: BPN: Kekerasan Terhadap Wartawan Tidak Dibenarkan
Terakhir, JPU pada KPK memutar rekaman percakapan telepon antara terduga Eddy dengan seorang wanita.
Usai mendengarkan rekaman suara, Eddy menggeleng dan tak tahu suara siapa dalam percakapan itu.
"Bapak diam saja boleh apalagi bohong, bapak punya hak?" ucap Jaksa M Basyir kepada Eddy.
Namun, Eddy menegaskan tidak berbohong.
"Saya tidak bohong pak. Saya gak pernah terima dan gak pernah baca dan kirim balik. Dia pake-pake nama saya aja pak," jawab Eddy membantah tuduhan bohong jaksa.
Baca: Ditanya Soal Mahar Politik, Taufik: Ahok Saja Nggak Pakai Mahar
Sebelumnya, Eddy Sindoro didakwa melakukan suap kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution dengan uang sejumlah Rp 150 juta dan 50 ribu US Dolar.
Dakwaan itu dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), Jalan Bungur Besar, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2018).
Uang sejumlah tersebut diduga diberikan Eddy Sindoro kepada Edy Nasution untuk memuluskan sejumlah perkara perdata yang menjerat beberapa perusahaan
Eddy Sindoro meminta agar Edy Nasution menunda pelaksanaan proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan mengupayakan agar PT Across Asia Limited (AAL) bisa mengajukan PK (Peninjauan Kembali) atas putusan pailit meskipun waktu pengajuan PK sudah habis.
Aanmaning sendiri dalam dunia hukum merupakan peringatan berupa pemanggilan kepada pihak tereksekusi untuk melaksanakan hasil persidangan perkara serta hasil keputusannya secara sukarela.
Dalam uraiannya JPU KPK menyatakan untuk kasus penundaan aanmaning Eddy Sindoro melalui Wresti Kristian Hesti Susetyowati menyerahkan Rp 100 juta kepada Eddy Sindoro yang diterima oleh Doddy Aryanto Supeno.
Sementara untuk pengajuan PK PT AAL Eddy Sindoro yang juga melalui Wresti menyerahkan uang hadiah sejumlah Rp 50 juta dan 50 ribu US Dolar.
Eddy Sindoro didakwa melakukan pelanggaran pidana pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Edy Nasution sendiri sudah divonis dengan hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sementara Doddy Aryanto Supeno divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 150 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.