TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Eni Maulani Saragih melempar senyuman setelah mendengarkan pembacaan putusan kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Sidang beragenda pembacaan putusan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Jumat (1/3/2019).
Setelah ketua majelis hakim Yanto membacakan putusan, Eni berdiri dari kursi terdakwa menuju tempat duduk tim penasihat hukum.
Wajah mantan wakil ketua Komisi VII DPR RI itu terlihat ceria.
Dia berdiri tegap dan melempar senyum.
Baca: Eni Saragih Hadapi Vonis Kasus Suap PLTU Riau-1
Dia meminta pertimbangan kepada penasihat hukum apakah akan mengajukan banding terhadap vonis enam tahun pidana penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara.
Setelah itu, dia kembali duduk ke kursi terdakwa.
Dia memberitahukan kepada majelis hakim tidak mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut.
"Yang Mulia saya ucapkan terimakasih. Saya menerima semua keputusan yang mulia," kata Eni, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Jumat (1/3/2019).
Sementara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK memilih menggunakan waktu selama tujuh hari mempertimbangkan apakah akan mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan majelis hakim tersebut.
"Kami menggunakan hak kami untuk pikir-pikir," kata JPU pada KPK.
Yanto mengakhiri persidangan. Lalu, Eni berangkat dari tempat duduk untuk menyalami majelis hakim dan tim JPU pada KPK.
Sebelumnya, terdakwa Eni Maulani Saragih mengajukan Justice Collaborator (JC) dalam kasus proyek suap PLTU Riau-1, kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (19/2/2019).
JC diajukan setelah di persidangan beragenda pembacaan tuntutan pada pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK menolak permohonan dari tim penasihat hukum Eni Maulani Saragih tersebut.
"Surat permohonan. Terdakwa masih berharap mendapatkan Justice Collaborator," kata Rudi Alfonso, selaku penasihat hukum Eni Maulani saat berbicara kepada majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (19/2/2019).
Seperti diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara selama enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan penjara kepada Eni Maulani Saragih, terdakwa kasus suap PLTU Riau-1.
Selain itu, Eni diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp 5,87 Miliar dan 40 ribu Dollar Singapura subsider 6 bulan penjara.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Yanto, membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Jumat (1/3/2019).
Pada saat membacakan pertimbangan, majelis hakim menyebut hal yang memberatkan Eni berupa melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini bertentangan dengan upaya pemerintah yang gencar memberantas korupsi.
Sedangkan, hal yang meringankan, selama persidangan, terdakwa bersikap sopan, mengakui kesalahan dengan cara berterus terang, menyerahkan sebagian uang yang diterima, dan belum pernah dihukum.
Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun setelah selesai menjalani pidana pokok.
Namun, penjatuhan vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK. JPU pada KPK menuntut Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dituntut 8 tahun penjara.
Pembacaan tuntutan disampaikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Rabu (6/2/2019).
JPU pada KPK, Lie Putra Setiawan, menilai Eni Maulani Saragih telah terbukti menerima uang suap senilai Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources.