TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta kepada majelis hakim untuk menolak nota keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa kasus penyebaran hoaks, Ratna Sarumpaet.
Diketahui, sidang ketiga Ratna digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jl Ampera, Jakarta Selatan, Selasa (12/3).
JPU bernama Daru, mengatakan alasan penolakan terhadap eksepsi Ratna adalah tidak cermat dan tidak memahami atas dakwaan yang diajukan oleh pihaknya.
"Setelah kami cermati nota keberatan kami penuntut umum mempertanyakan apakah kuasa hukum tak cermat atau tidak memahami dakwaan yang kami ajukan," ujar Daru, ketika sidang berlangsung, di PN Jaksel, Jl Ampera, Jakarta Selatan, Selasa (12/3/2019).
Daru menjelaskan pihaknya enggan menanggapi lebih jauh perihal eksepsi tersebut dan memilih untuk membuktikan di persidangan selanjutnya.
Baca: Tim Prabowo-Sandi Tak Pernah Hadiri Sidangnya, Apa Kata Ratna Sarumpaet?
Karena, ia menilai dakwaan yang diajukan oleh pihaknya telah sesuai dengan Pasal 156 Juncto Pasal 123 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Selain itu, poin materi eksepsi yang diajukan Ratna disebutnya telah masuk ke dalam materi pokok perkara.
"Sehingga kami tidak menanggapi lebih jauh hal itu, karena justru itulah yang akan kita buktikan di persidangan berikutnya," imbuh Daru.
Seperti diketahui, Ratna Sarumpaet ditahan polisi setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus hoaks, pada 5 Oktober 2018.
Dirinya sempat menggegerkan publik karena mengaku diamuk sejumlah orang. Cerita bohongnya itu lantas dibongkar polisi. Lebam di wajah Ratna bukan akibat dipukul, melainkan akibat operasi sedot lemak di RSK Bina Estetika.
Diketahui, JPU mendakwa Ratna dengan dua dakwaan.
Pertama, Ratna didakwa menyebarkan berita bohong untuk membuat keonaran sebagaimana tercantum dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Kedua, Ratna didakwa menyebarkan informasi untuk menimbulkan kebencian atas dasar SARA sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Juncto Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Atas dua dakwaan itu, Ratna mengajukan nota keberatan atau eksepsi.
Tim kuasa hukum Ratna, Desmihardi, menilai dakwaan JPU keliru, dan tidak jelas karena menggunakan pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana.
Sebab, kedudukan Undang-Undang tersebut dalam hukum pidana materil ialah sebagai dasar pemberlakuan hukum pidana di Indonesia.
Undang-Undang itu diklaim tidak bertujuan untuk dipakai dalam menjerat pelaku tindak pidana.
Terkait hal itu, tim kuasa hukum Ratna pun menyebut bahwa dakwaan JPU tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga tidak memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 143 ayat (2) huruf B Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sehingga, berdasarkan Pasal 143 ayat (3) KUHAP tim kuasa hukum Ratna menilai dakwaan JPU harus dinyatakan batal demi hukum.
Kemudian tim kuasa hukum Ratna meminta majelis hakim menerima dan mengabulkan eksepsi yang diajukan, menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima, dan menyatakan perkara tidak diperiksa lebih lanjut.