TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK memutar rekaman percakapan antara Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham dengan Bendahara Munaslub Golkar 2017, Eni Maulani Saragih.
Pemutaran rekaman percakapan yang didapat melalui proses penyadapan tersebut dilakukan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/3/2019).
Mengacu pada surat dakwaan, terdakwa Idrus Marham selaku penanggung jawab Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar mengarahkan Eni Maulani Saragih selaku bendahara untuk meminta uang sejumlah USD 2,5 juta kepada Johanes Budisutrisno Kotjo guna keperluan Munaslub Partai Golkar Tahun 2017.
Ini dikarenakan terdakwa berkeinginan untuk menjadi pengganti antar waktu Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Setya Novanto yang masih memiliki sisa jabatan selama 2 tahun, yang selanjutnya disanggupi oleh Eni Maulani Saragih.
"Apakah percakapan anda melakukan percakapan telepon dengan Ibu Eni, dimana Ibu Eni ada mengatakan menyinggung proyek PLN dan Pak Kotjo Bulan September 2017?" tanya JPU pada KPK kepada Idrus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/3/2019).
Baca: Idrus Marham Jalani Pemeriksaan Terdakwa Kasus Suap PLTU Riau-1
Sementara itu, Idrus Marham mengaku ada percakapan itu.
Dia mengungkapkan, Eni menginginkannya maju sebagai ketua umum Partai Golkar
"Mereka berpandangan Bang Idrus ini sudah berpengalaman mengatasi konflik Golkar dan karena itu dorong saya, sebelum (Setya,-red) Novanto saya sudah memberikan syarat sebagai pimpinan apabila perdebatan bukan insitas saya tidak mau jadi ketum tersandera oleh apapun," tegasnya.
Bahkan, Idrus melontarkan kelakar kepada Eni pada 27 September 2017.
Apabila mantan wakil ketua Komisi VII itu mempunyai uang, mengapa tidak maju mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar.
"En lo kan katanya ada uang tanpa syarat kemana itu?' gitu dari mulai Rp 200 miliar sampai Eni mengatakan 1 ya jangan 1 lah 2 lah 3 lah 2,5 ambil saja atas nama saya. itulah percakapan saya," kata Idrus kepada JPU pada KPK.
Dia mengaku mengungkapkan hal itu sambil berkelakar sekaligus memberikan pelajaran untuk Eni.
Upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan efek jera kepada yang bersangkutan.
"Karena Eni menggampangkan sesuatu sebagai bukti ini semua, diakhir percakapan itu saya katakan 'en lo saja deh yang jadi ketum jangan saya deh,' tu bisa dilihat di dalam percakapan itu," tambahnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.