Komite III DPD RI menilai Undang-undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran memiliki banyak kekurangannya. Sehingga UU tersebut harus segera direvisi agar bisa menjawab permasalahan kedokteran di Indonesia.
“UU Pedidikan Kedokteran memang masih sangat belia, namun banyak kekurangannya khususnya pada implementasinya sehingga menyebabkan UU ini direvisi kembali,” ucap Wakil Ketua Komite III DPD RI Novita Anakotta saat pembahasan inventarisasi materi penyusunan pertimbangan RUU tentang Pendidikan Kedokteran di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (3/13).
Senator asal Maluku Utara itu menjelaskan ada beberapa kelemahan pada UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran. Pertama, permasalahan distribusi dokter. Kedua, legislasi atau dimana UU ini pasal-pasalnya memicu kontroversi diantaranya penambahan profesi dokter layanan primer (DLP).
“Padahal UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tidak mengenal DLP,” ulasnya.
Selain itu, lanjut Novita, di dalam UU Pendidikan Kedokteran juga belum menyebutkan pendidikan berkelanjutan. “Hal ini tentunya untuk merespon perkembangan teknologi, sosial, budaya, dan peningkatan kompetensi sehingga dokter dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua Harian Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Abraham Andi Padian Patarai menjelaskan kompetensi DLP sebagai program studi baru tidaklah berbeda dengan kompetensi dokter umum pada Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Alhasil, menimbulkan kasta baru pada pelayanan di tingkat primer.
“DLP sejatinya adalah entitas layanan, bukan sebuah gelar. Hemat saya, DLP berpotensi menggangu sistem pelayanan kesehatan yang saat ini telah eksis,” paparnya.
Menurutnya, UU Pendidikan Kedokteran saat ini tidak harmonis dengan UU Praktik Kedokteran. “Dimana pada UU Praktik Kedokteran telah dijelaskan bahwa uji kompetensi diberlakukan hanya bagi dokter yang ingin berpraktik,” ujar Abraham.
Pada kesempatan yang sama, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Titi Savitri Prihatiningsih melihat dari sisi peningkatan distribusi tenaga dokter. Menurutnya, perlu kerjasama antara Pemda dan fakultas kedokteraan di daerah. Secara nasional di dalam Standar Nasional Pendidikan Dokter Indonesia, komponen muatan lokal akan diperbesar 30 hingga 50 persen.
“Maka setiap fakultas kedokteraan akan didorong untuk menyusun kurikulum dengan muatan lokal untunk menyelesaikan masalah kesehatan di daerah fakultas itu berada,” kata Titi.
Titi juga menyarankan, dalam penempatan lulusan program studi dokter untuk mengikuti internship. Bekerjasama dengan Pemda dan organisasi profesi setempat sehingga lulusan dokter akan didistribusikan secara merata.
“Dengan begitu lulusan dokter bisa didistribusikan secara merata di rumah sakit, puskesmas atau organisasi pelayanan kesehatan,” ucapnya. (*)