News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pemilu 2019

Survei Litbang Kompas Sebut PSI Partai Baru yang Paling Ditolak Masyarakat

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie dalam pidato politik berjudul “Beda Kami-PSI-dengan Partai Lain” di Festival 11 di Medan, Sumatra Utara, pada Senin (11/3/2019)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil survei terbaru Litbang Kompas tidak hanya menunjukkan tiada satu pun partai pendatang baru di Pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen (PT) 4 persen, tetapi juga resistansi (penolakan) masyarakat terhadap partai-partai tersebut.

Uniknya, angka resistansi tersebut justru lebih tinggi dari elektabilitas mereka yang rata-rata cuma berkisar nol koma.

Dikutip dari Harian Kompas, Kamis (21/3/2019), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi partai baru yang paling tinggi resistansinya atau dengan kata lain paling ditolak masyarakat.

Dengan elektabiltas 0,9 persen, resistansi masyarakat terhadap partai baru pimpinan Grace Natalie ini ditolak oleh 5,6 persen masyarakat.

Baca: Sudinhub Jaktim Ancam Proses Hukum Jukir Liar yang Masih Manfaatkan Trotoar Jadi Lahan Parkir

Selanjutnya adalah Perindo dengan elektabilitas 1,5 persen, resistensinya 1,9 persen.

Kemudian Berkarya elektabilitas 0,5 persen, resistensinya 1,3 persen. Selanjutnya, Garuda elektabilitas 0,2 persen, resistensinya 0,9 persen.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Ari Junaedi, menjelaskan rendahnya elektabilitas partai-partai baru seperti PSI, Partai Garuda, Berkarya dan Perindo adalah wajar dan normal.

Baca: Survei Indo Barometer: 64,9 Persen Responden Puas Kinerja Jokowi

“Selain sebagai ‘new comer’ positioning dan strategi branding mereka pun terbilang tidak tepat. Hal ini terlihat dari tingginya resistensi mayarakat terhadap partai-partai baru termasuk PSI yang dibesut anak-anak milenial,” ujar Ari kepada wartawan, Kamis (21/3/2019).

Ari mengatakan, ia termasuk yang menaruh harapan besar terhadap PSI di saat-saat awal berdiri.

Namun, menurutnya, di tengah-tengah perjalanannya partai pimpinan Grace Natalie tersebut kerap mengeluarkan blunder-blunder yang tidak perlu, serta mengganggu soliditas di koalisi partai-partai pendukung Jokowi.

“Pernyataan perda syariah dan poligami yang masuk dalam ranah filosofis keagamaan sebaiknya tidak disentuh PSI di awal kampanye. Dengan cara seperti itu, PSI mengobarkan perang dengan kaum mayoritas,” ujar pengajar di Univesitas Indonesia (UI) ini.

“Demikian juga soal pernyataan PSI yang menyinggung kiprah partai-partai lama soal pendampingan terhadap gender, toh nyatanya sudah digarap oleh partai-partai yang jauh lebih senior,” tambahnya.

Semestinya menurut Ari, PSI lincah bermanuver di pusaran-pusaran isu-isu nasional tanpa membuat permusuhan dengan partai-partai lain.

PSI, lanjut Ari, harusnya percaya diri bermain di isu-isu milenial mengingat captive marketnya di kalangan milenial atau pemilih pemula.

"Ini kan tidak, PSI membuka front ‘pertempuran’ dengan partai-partai ‘senior’, tidak peduli yang ada di dalam koalisi atau tidak serta tidak menggarap intens pasar potensialnya," papar Ari.

Menurut Ari, PSI masih tidak bisa menempatkan dirinya sebagai partai baru yang sejajar dengan partai-partai mapan seperti PDIP, Gerindra, Golkar dan PKB.

“PSI kurang santun dalam berpolitik serta tidak bisa melepaskan diri dari gaya anak muda yang temperamental,” tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini