“Angka terbaru tahun 2017 menunjukkan, 1% orang terkaya itu, menguasai 46.6% kekayaan nasional.”
Ucap Faisal Basri, sembari menunjukkan data-data yang tampil di layar, dalam acara yang bertajuk Sharing with The Master: Meneropong Masa Depan Makro Ekonomi Nasional dan Peran Strategis Wakaf dalam Pengentasan Kemiskinan, di Aula Andalusia, Menara 165, Kamis (21/3) siang ini.
“Jumlah orang miskin absolut itu ada di Desa 60%. Di desa itu kegiatan utamanya pertanian, jadi akar kemiskinan ada di sektor pertainan yang lokasinya di desa.” lanjut pakar ekonomi tersebut.
Salah satu penyebabnya menurut Faisal adalah ketidakmampuan masyarakat dalam mengelola bahan baku. Masyarakat cenderung menjual barang mentah sehingga tidak mendapat nilai tambah dari bahan baku tersebu.
Faisal mencontohkannya pada petani. Menurut Faisal, di sektor pertanian kondisi ini terjadi bisa karena beberapa faktor. Diantaranya adalah produktivitas petani yang rendah karena waktu kerja petani yang terbatas antara menanam hingga panen. Jadi perlu ada upaya untuk meningkatkan produktivitas petani ketika mereka sedang menunggu panen.
“Sembari menunggu bisa ada indutrialisasi di sektor pertanian. Salah satunya misal mengolah cabe menjadi keripik. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat, suami ke sawah, istrinya mengolah (keripik).”
Dengan sarat data, seluruh paparan data dari Faisal cenderung menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sebenarnya masih sangat lebar. Ahyudin, Presiden ACT yang turut hadir pada acara tersebut, mengungkapkan bahwa memang kemiskinan yang saat ini terjadi di Indonesia, adalah termasuk tragedi kemanusiaan.
“Kami sadar sekali, tragedi kemanusiaan bukan sekadar bencana alam. Bukan konflik atau perang. Tapi ada konflik lebih hebat dari itu, yaitu kemiskinan.” kata Ahyudin.
Seolah menjawab hal tersebut, Ahyudin menjelaskan bahwa ACT melalui Global Wakaf telah mencari solusi dari kemiskinan dengan menggunakan solusi wakaf. Baginya, wakaf adalah alat dari yang maha kuasa sebagai solusi untuk mengentaskan kemiskinan.
“Mengapa umat ini tetap miskin? Karena umat tidak menggunakan instrumen wakaf.” ujarnya. Karena dengan adanya wakaf ini, masyarakat dapat produktif dalam mengelola aset-aset yang telah mereka wakafkan.
Ahyudin memberi contoh peternakan yang kini dikelola oleh Global Wakaf – ACT di Desa Labangka, Sumbawa. Mereka kini telah mengkolaborasikan potensi lokal di Sumbawa dengan hadirnya program-program dari Global Wakaf ACT.
Di lahan seluas 3500 hektar, mereka telah memberdayakan 1200 kepala keluarga. Lahan tersebut kini berfokus pada pengelolaan jagung dengan kapasitas 50.000 ton per tahun yang hasilnya akan didistribusikan demi kebutuhan masyarakat sekitar. Faisal menyambut baik gagasan ini. Menurutnya dengan hadirnya program-program dari Global Wakaf-ACT, umat akan lebih mandiri.
“Tiap umat itu akan kuat kalau dia punya kemandirian, punya energi, dan tidak terlalu bergantung pada siapapun.” ujarnya.(*)