Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi mahasiswa, termasuk Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), harus tetap konsisten menjadi bagian integral Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia (OMSI) yang memperjuangkan demokrasi dan pengokohan nasionalisme, di tengah menguatnya gerakan intoleransi bernuansa SARA yang dapat mengancam masa depan demokrasi dan kebhinekaan.
Hal itu disampaikan pengamat politik senior, Muhammad AS Hikam, saat menjadi pembicara Seminar Kebangsaan dengan tema "Bersatu Dalam Kebhinekaan Untuk Mewujudkan Cita-Cita Proklamasi Di Tahun Politik", yang diselenggarakan DPC GMNI Surakarta, di Hotel Grand Setiakawan, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (23/3/2019).
Mantan Menteri Riset dan Tekonologi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid tersebut mengatakan, GMNI dan organisasi mahasiswa lainnya bersama elemen pro demokrasi memiliki andil besar dalam meruntuhkan rezim otoriter pada 1998.
Namun demikian, imbuh Muhammad AS Hikam, pasca-reformasi terjadi dinamika perubahan gerakan mahasiswa.
Ada kecenderungan penurunan semangat dan kiprah mereka untuk mengawal demokrasi.
Bahkan dalam menghadapi berbagai kekuatan intoleransi dan radikalisme, terjadi kemunduran dalam semangat perlawanan.
Sehingga kekuatan pendukung intoleransi seakan tak terbendung.
Latihan Soal & Jawaban PKN Kelas 1 SD Bab 2 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Aku Anak yang Patuh Aturan
40 Soal Sumatif Bahasa Indonesia Kelas 4 UTS Semester 1 Kurikulum Merdeka 2023 Lengkap Kunci Jawaban
"Untuk itu, kegiatan intelektual dan aktivisme pro demokrasi harus digiatkan seperti masa 1990an. Kendati saat ini demokratisasi telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa, tetapi bukan berarti konsolidasi demokrasi telah berlangsung efektif. Justru saat ini ada tanda-tanda inersia politik yang akan berdampak mengurangi kualitas demokrasi," kata Muhammad AS Hikam seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Minggu (24/3/2019).
Di tempat yang sama, Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyatakan, tren politik identitas yang mengeksploitasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) cenderung meningkat di tahun politik.
Menurut Karyono Wibowo, hal ini telah menggerus nilai-nilai kebhinekaan yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Karyono Wibowo menyebut ada pihak yang sengaja melakukan politisasi SARA untuk menciptakan polarisasi pemilih.
Tujuannya untuk membentuk sentimen negatif kepada kandidat yang menjadi sasaran isu SARA.
Di sisi lain untuk menggiring masyarakat agar memilih kandidat tertentu.