TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Hari Konsumen Nasional (Hakornas) yang diperingati setiap tanggal 20 April di Indonesia memasuki usia 20 tahun.
Namun, bagi Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak kepastian konsumen mendapatkan haknya tergantung kemauan pemerintah.
“Mau dibawa ke mana perlindungan konsumen Indonesia? Semua tergantung pada kemauan pemerintah,” sebutnya di Jakarta, Sabtu (20/4/2019).
Dia menjelaskan, Hakornas terhitung sejak keluarnya UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999.
Pada 24 April 2012, pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Hari Konsumen Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 April.
“Pada faktanya, sejak Kepres 12/2013 lahir, acara perayaan Harkonas pertama kali dilakukan oleh BPKN. Dan, selanjutnya dilakukan oleh kementrian Perdagangan. Sampai saat ini, presiden belum pernah hadir dalam acara peringatan ini,” tunjuk lelaki yang sedang menyelesaikan gelar doktor bidang konsumen dari Universitas Trisakti Jakarta ini.
Salah satu tokoh konsumen nasional itu menunjuk banyaknya pelanggaran terhadap konsumen di Indonesia.
Namun dalam penegakan hukum perlindungan konsumen, menurutnya, UU Perlindungan Konsumen masih belum tegas mengatur sanksi pidana dan sanksi perdata.
“Sehingga pelanggar tidak ada efek jeranya. Masyarakat Indonesia belum merasa kehadiran Negara dalam memastikan konsumen mendapatkan haknya,” sebut mantan pengacara yang sudah lima kali memenangkan gugatan melaawan Lion Air terkait hak konsumen tersebut.
Rolas menunjuk BPKN saat ini banyak menerima pengaduan dari konsumen.
Dalam catatannya, pengaduan terbanyak adalah pada sektor perumahan khususnya pada bidang pembiayaan perumahan oleh lembaga pembiayaan (KPR).
“Aduan lainya adalah mengenai e-commerce, transportasi, pembiayaan, kesehatan, makanan minuman dan masih banyak hal lainya,” jelasnya.
Sejarah Perlindungan Konsumen
Rolas bercerita, gerakan perlindungan konsumen dimulai dari kondisi perdagangan di Amerika Serikat (AS), yakni diawali gerakan-gerakan perlindungan konsumen (consumers movement) pada awal abad ke-19.
Pada, 1891 terbentuklah Persatuan Konsumen di New York. Kemudian, tahun 1898 terbentuk Persatuan Konsumen Nasional (The National Costumer’s League) di Amerika Serikat.
Organisasi ini,lanjutnya, berkembang pesat sehingga pada 1903 Persatuan Konsumen Nasional memiliki 64 cabang di 20 negara bagian.
“Hasil perjuangan perrsatuan Konsumen Nasional tersebut adalah lahirnya Undang-Undang tentang perlindungan konsumen, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act pada tahun 1906,” katanya.
Isu perlindungan konsumen di AS semakin berkembang pada 1914 dengan ditandai dengan terbentuk komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu Federal Trade Comission (FTC).
Beberapa tahun kemudian, undang-undang The Food and Drugs Act mengalami amandemen. Protes keras masyarakat pada tahun 1937 terhadap kasus obat yang mengandung exiler sulfanilamide menjadi penyebabnya.
Kasus ini menyebabkan 93 orang meninggal dunia di Amerika Serikat.
Tragedi ini pula yang lantas mendorong badan legislatif Amerika Serikat melakukan amandemen terhadap The Food and Drugs Act 1906 yang menghasilkan The Food, Drug, and Cosmetic Act
Akibat gerakan perlindungan konsumen di Amaerika, maka wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah Internasional Organization Of Consumer Union(IOCU).
Pidato Declaration of Consumer Right oleh presiden John F Kennedy di hadapan kongres Amerika Serikat pada tanggal 15 Maret 1962 yang berjudul “A special Message for the Protection of Consumer Interest" memperkuat soal perlindungan konsumen.
Dalam pidatonya, Kennedy meminta hak untuk memperoleh keamanan (the right to safety), hak untuk memilih (the right to choose), hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed), dan hak untuk didengarkan (right to be heard).
Menurut Presiden Kennedy, konsumen memiliki hak memperoleh perlindungan atas keamanan produk dan jasa.
Hal ini dikarenakan pelaku usaha acap kali tidak berorientasi pada konsumen dan atau membiarkan ketidak tahuan konsumen tentang hak-hak konsumen yang sengaja ditutupi tutupi demi memperoleh laba.
Pasca 1965 lantas dikenal sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat masing-masing negara maupun persatuan konsumen internasional. International Organization of ConsumerUnion (IOCU) menambahkan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan oleh presiden Kennedy, berupa hak untuk mendapatkan ganti-rugi (the right to redress), dan hak mendapatkan pendidikan konsumen (the right to consumereducation).
Tidak sampai disitu saja, IOCU juga mengemukakan pendapatnya tentang pengaruh berkonsumsiterhadap lingkungan, yang kemudian dikenaldengan istilah the right to a healtyenvironmental (hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih).
Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali.
Setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi PBB No 39/248(UN General Assembly) tanggal 9 April 1985. Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN guidelines for Consumers Protection.
Sementara sejarah perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar dan populer era 1970-an, dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai perintis advokasi konsumen pada 11 Mei 1973.
Rolas mengisahkan, setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang berbasis perlindungan konsumen.
Pada tahun 1988, berdiri Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang dan bergabung sebagai anggota ConsumersInternational (CI) tahun 1990.
Hingga akhirnya terbit Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan berdirinya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
“Perkembangan perdagangan saat ini telah mencapai perdagangan di era digital, tidak terhalang oleh tempat dan oleh waktu. Semua transaksi dilakukan secara online. Yang pada akhirnya akan menimbulkan banyak pelanggaran terhadap konsumen. Karena itu, perlu memperkuat perlindungan konsumen,” katanya.