TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PLN Sofyan Basir sebagai tersangka kasus korupsi dalam pembangunan PLTU Riau 1, Selasa (23/4/2019).
Penetapan tersangka pada Sofyan Basir disampaikan Wakil Ketua KPK Suat Situmorang dalam konferensi pers, Selasa.
"KPK menemukan bukti yang cukup keterlibatan pihak lain dalam perkara tindak pidana korupsi terkait dengan pembangunan PLTU 1 sehingga KPK meningkatkan ke tahap penyidikan dengan tersangka SFB, Direktur Utama PLN," ujar Saut seperti dikutip dalam tayangan live di akun Twitter KPK.
Baca: KPK Gelar Konferensi Pers Soal Perkembangan Kasus di Sektor Energi
Baca: KPK Panggil Dua Pejabat Kemenag soal Kasus Romahurmuziy
Suat melanjutkan, tersangka diduga bersama-sama membantu Eni Mualana Saragih selaku anggota DPR RI dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johanes Budisutrisno Kotjo terkait kesepakaatan kontrak kerjasama pembangunan PLTU Riau 1.
Lebih lanjut, Saut mengatakan Sofyan disangka melangga pasal Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat 2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sofyan Basir Kaget Idrus Marham Hadir di Kediamannya Bahas Proyek PLTU Riau
Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, membenarkan ada dua kali pertemuan dengan pemegang saham Blackgold Natural Resoursces Limited, Johannes B. Kotjo dan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih.
Hal ini diungkap Sofyan saat memberikan keterangan sebagai saksi di sidang kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat terdakwa, Idrus Marham. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/2/2019).
"Berapa kali pertemuan dengan Eni Maulani Saragih dan Johannes B. Kotjo di rumah?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK kepada Sofyan Basir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/2/2019).
"Di rumah (pertemuan sebanyak,-red) dua kali," kata Sofyan, menjawab pertanyaan JPU pada KPK.
Dia menjelaskan, pada pertemuan pertama turut hadir Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan. Sedangkan, pada pertemuan kedua, kata dia, Supangkat Iwan tidak hadir.
Justru, menurut dia, hadir mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham di pertemuan kedua di kediamannya yang berlangsung pada awal Juni 2018.
"Pada saat pak Idrus telepon saya mau hadir ke rumah, saya saja datang, saya pulang lewat situ tidak apa-apa, aku pengen lihat rumah, Waktu Pak Idrus datang saya masih posisi di JCC, waktu saya datang ada Pak Idrus, Bu Eni dan Pak Kotjo," kata Sofyan.
Pada pertemuan kedua itu, kata Sofyan, Idrus Marham membuka pembicaraan. Dia mempersilakan kepada Kotjo untuk pertama kali berbicara dengan Sofyan Basir.
Sofyan mengaku sempat memarahi Kotjo karena membahas rencana proyek PLTU Riau-II. Padahal, menurut dia, perusahaan yang dibawa oleh Kotjo, China Huadian Engineering Company (CHEC), sedang berupaya menggarap proyek PLTU Riau-1.
"Seingat saya pak Kotjo langsung Riau II, saya kaget. Tidak pernah diskusi Riau II. Saya agak sedikit emosi, pak Kotjo jangan diskusi, mimpi saja jangan bapak selesaikan di Riau-1 ini. Waktu sudah hampir selesai. Ini belum selesai juga bicara yang lain," tegasnya.
Lalu, JPU pada KPK menanyakan mengenai apakah Idrus Marham mengetahui proyek PLTU Riau-1. Sofyan mengaku tidak mengetahui hal tersebut.
"Pada saat itu tidak. Saya betul-betul tidak nyambung. Pada saat Pak menteri datang berkaitan undangan saya, tetapi memang belia sudah disitu mendiskusikan mungkin sama-sama di partai Pak menteri sama Bu Eni," tambahnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 Miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd). Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
(Tribunnews.com/Daryono)