TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik sekaligus Ketua KoDe Inisiatif Very Junaidi menilai, sistem ambang batas presiden atau Presidential Threshold 20 persen memunculkan banyak masalah.
Salah satunya, kata Very, gesekan politik yang merugikan regenerasi bangsa.
Terlebih, pada Pemilihan Presiden tahun 2109 ini, dimana terjadi gesekan di kalangan masyarakat dengan dua kandidat calon presiden dan calon wakil presiden.
"Gesekan politik yang sangat tinggi menurut saya juga tidak menguntungkan bagi regenerasi bangsa ini. Nanti akan didominasi oleh kandidat tertentu saja kita tidak punya banyak alternatif pilihan," kata Very Junaidi di Kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Matraman, Jakarta Timur, Kamis (25/4/2019).
Diketahui, Presidential Threshold dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres, harus memiliki 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah di level nasional.
Selain itu, Very menyebut Presidential Threshold 20 persen telah menghambat munculnya figur baru dalam kontestasi pemilihan presiden.
Baca: Bara Tolak Usul Fadli: Tidak Relevan Bentuk Pansus Kecurangan Pemilu
Untuk itu, ia meminta agar sistem tersebut dikaji ulang.
"Menurut saya dengan keserentakan itu enggak ada harusnya diturunkan menjadi nol. Idealnya tapi ya diturunkan tidak sebesar sekarang," ucap Very.
Ia meyakini, jika aturan soal ambang batas itu diperbaharui, pada pemilu 2024 mendatang akan terjadi regenerasi baru calon pemimpin Indonesia kedepannya.
Dengan demikian, pemilih akan disuguhi dengan banyak pilihan.
"Siapa kemudian yang akan muncul? Ya tokoh-tokoh muda 2024. Oleh karena itu threshold-nya turun saja supaya apa nanti kita punya banyak tokoh-tokoh muda, calon-calon presiden kan lebih menarik," jelas Very.