"Ini kami anggap alasan aneh karena tidak ada kaitannya tuntutan pidana penjara tinggi dengan pencabutan hak politik, keduanya ini punya tujuan berbeda," ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Ia menjelaskan hukuman pidana penjara berbeda dengan hukuman pencabutan hak politik.
Menurutnya, pidana penjara adalah hukuman bagi terdakwa atas kejahatan korupsi yang dilakukannya.
Sementara, pencabutan hak politik adalah upaya pencegahan agar terdakwa tidak kembali menduduki jabatan di dunia politik setelah menjalani hukuman pidana penjara.
Kurnia pun mengimbau agar KPK lebih dominan dalam melakukan pencabutan hak politik kepada terdakwa yang berasal dari dunia politik.
Baca: Marwan Batubara Sebut Orang Dalam di KPU Bisa Merekayasa Data
"KPK harusnya bisa lebih dominan, angka 70, 80 persen itu harus dicapai KPK. Kalau begini, 88 (terdakwa) dari dimensi politik, cuma 42 (yang dituntut pencabutan hak politik) itu kan data yang tidak cukup menggambarkan trigger mechanism yang jelas untuk KPK sendiri," imbuhnya.
Di sisi lain, peneliti ICW lainnya, Lalola Easter, mengatakan pihaknya kesulitan menilai bagaimana Kejaksaan melakukan tuntutan pencabutan hak politik.
Baca: Pemilu Makan Banyak Korban, M Taufik: Saya Sarankan Arief Mundur
Sehingga ICW pun lebih fokus membahas terkait pencabutan hak politik dari sisi lembaga antirasuah yakni KPK.
"Kejaksaannya sendiri tidak punya informasi terkait perkara yang sudah diputus dari tuntutan yang mereka ajukan sehingga kami kesulitan mendapatkan akses penanganan perkara di Kejaksaan. Sehingga tren ini kita ambil dari KPK saja," tutur Lalola.