Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, menyebut perangkat desa menempati posisi ketiga profesi yang paling banyak melakukan korupsi dengan 158 terdakwa selama tahun 2018.
Diketahui, ICW mencatat ada 1.053 perkara tindak pidana korupsi dengan 1.162 terdakwa.
Dengan jumlah 158 terdakwa, perangkat desa menyumbang angka 13,61 persen.
Lalola menuturkan pihaknya mencoba mengidentifikasi penyebab mengapa jumlah perangkat desa yang terjerat kasus korupsi sangat banyak.
Apalagi, selama tahun 2015 hingga 2017, ICW mencatat tak ada perangkat desa yang terjerat kasus korupsi.
Baca: Video Detik-detik Kapal Pengawas Perikanan Vietnam Tabrak KRI Tjiptadi-381 di Laut Natuna Utara
"Ini akan coba kami identifikasi kenapa terjadi. Karena perangkat desa itu menempati posisi 3. Dia jumlah 158 terdakwa perangkat desa baik kepala desa, bendahara desa, sekretaris desa, dan sebagainya," ujar Lalola di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Ia menjelaskan jika posisi pertama ditempati oleh pejabat pemerintah provinsi/kota/kabupaten dengan 319 terdakwa atau 27,48 persen.
Sementara posisi kedua ditempati oleh swasta dengan 242 terdakwa atau 20,84 persen.
Di sisi lain, Lalola mengatakan banyaknya jumlah terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa berkaitan dengan 'dana desa'.
Baca: ICW: Dari 88 Terdakwa Kasus Korupsi, Hanya 42 yang Dituntut Pencabutan Hak Politik
Untuk diketahui, pemerintah mengalokasikan Dana Desa melalui UU No 6 Tahun 2014, dimana dana itu bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa dan desa adat yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
"Tahun 2018, peningkatan di level perangkat desa. Kalau teman-teman cari korelasinya, jelas berkaitan dengan UU Desa. Desa diberikan kewenangan untuk mengelola sendiri dana dari pemerintah pusat," tukasnya.
158 terjerat kasus korupsi
Peneliti ICW, Lalola Easter, mengatakan banyaknya jumlah terdakwa kasus korupsi dari perangkat desa berkaitan dengan 'dana desa'.
Untuk diketahui, pemerintah mengalokasikan Dana Desa melalui UU Nomor 6 Tahun 2014, dimana dana itu bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa dan desa adat yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan.
Baca: Respons Elite PDIP Soal PAN: Baru Kemarin Mencerca Jokowi, Hari Ini Bicara Gabung Koalisi
"Tahun 2018, peningkatan di level perangkat desa. Kalau teman-teman cari korelasinya, jelas berkaitan dengan UU Desa. Desa diberikan kewenangan untuk mengelola sendiri dana dari pemerintah pusat," ujar Lalola, di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Pada tahun 2018, ICW mencatat ada 1.053 perkara tindak pidana korupsi dengan 1.162 terdakwa.
158 terdakwa atau 13,61 persen diantaranya berprofesi sebagai perangkat desa.
Dengan jumlah tersebut, kata dia, perangkat desa menempati posisi ketiga profesi yang paling banyak melakukan korupsi.
Baca: ICW: Dari 88 Terdakwa Kasus Korupsi, Hanya 42 yang Dituntut Pencabutan Hak Politik
Adapun posisi pertama ditempati pejabat pemerintah provinsi/kota/kabupaten dengan 319 terdakwa atau 27,48 persen.
Posisi kedua ditempati swasta dengan 242 terdakwa atau 20,84 persen.
Lebih lanjut, Lalola mengatakan pihaknya akan mengidentifikasi alasan mengapa jumlah perangkat desa yang terjerat korupsi sangatlah banyak.
Apalagi, selama tahun 2015 hingga 2017, ICW mencatat tak ada perangkat desa yang terjerat kasus korupsi.
Baca: Soal Pernyataan Garis Keras yang Tuai Kontroversi, Ini Penjelasan Mahfud MD
"Ini akan coba kami identifikasi kenapa terjadi. Karena perangkat desa itu menempati posisi 3. Dia jumlah 158 terdakwa perangkat desa baik kepala desa, bendahara desa, sekretaris desa, dan sebagainya," katanya.
Hak politik
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 42 terdakwa dari 88 terdakwa.
Satu contoh kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Klaten Sri Hartini yang tidak dicabut hak politiknya oleh jaksa KPK.
Alasan jaksa KPK, vonis hukuman 12 tahun penjara bagi yang bersangkutan sudah cukup tinggi.
Baca: Respons Elite PDIP Soal PAN: Baru Kemarin Mencerca Jokowi, Hari Ini Bicara Gabung Koalisi
"Ini kami anggap alasan aneh karena tidak ada kaitannya tuntutan pidana penjara tinggi dengan pencabutan hak politik, keduanya ini punya tujuan berbeda," ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, di Kantor ICW, Jl Kalibata Timur IV, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019).
Ia menjelaskan hukuman pidana penjara berbeda dengan hukuman pencabutan hak politik.
Menurutnya, pidana penjara adalah hukuman bagi terdakwa atas kejahatan korupsi yang dilakukannya.
Sementara, pencabutan hak politik adalah upaya pencegahan agar terdakwa tidak kembali menduduki jabatan di dunia politik setelah menjalani hukuman pidana penjara.
Kurnia pun mengimbau agar KPK lebih dominan dalam melakukan pencabutan hak politik kepada terdakwa yang berasal dari dunia politik.
Baca: Marwan Batubara Sebut Orang Dalam di KPU Bisa Merekayasa Data
"KPK harusnya bisa lebih dominan, angka 70, 80 persen itu harus dicapai KPK. Kalau begini, 88 (terdakwa) dari dimensi politik, cuma 42 (yang dituntut pencabutan hak politik) itu kan data yang tidak cukup menggambarkan trigger mechanism yang jelas untuk KPK sendiri," imbuhnya.
Di sisi lain, peneliti ICW lainnya, Lalola Easter, mengatakan pihaknya kesulitan menilai bagaimana Kejaksaan melakukan tuntutan pencabutan hak politik.
Baca: Pemilu Makan Banyak Korban, M Taufik: Saya Sarankan Arief Mundur
Sehingga ICW pun lebih fokus membahas terkait pencabutan hak politik dari sisi lembaga antirasuah yakni KPK.
"Kejaksaannya sendiri tidak punya informasi terkait perkara yang sudah diputus dari tuntutan yang mereka ajukan sehingga kami kesulitan mendapatkan akses penanganan perkara di Kejaksaan. Sehingga tren ini kita ambil dari KPK saja," tutur Lalola.