Pasangan presiden dan wakil presiden dipilih oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Jadi, dibuka kesempatan oleh pendiri bangsa untuk mengajukan pasangan calon, boleh dari satu partai dan gabungan partai. Itu kami pentingkan.
Bahkan pada 2013, enam tahun tiga bulan lalu.
Tribun : Media sosial menjadi salah satunya? Mengingat anda sering berbicara soal itu.
Effendi : Kami tahu itu karena akan masuk era media sosial.
Media sosial itu sangat brutal, kalau presidential threshold ini ada, seakan-akan ini 100 dibagi 20, maka dapat lima pasangan calon.
Tapi, kita sudah tahu, oligarki partai, ologarki kapital dan oligarki kekuasaan, akibatnya ada elit partai yang sudah ditarik-tarik ke lembaga antirasuah dan lain-lain, sehingga kami sudah baca nanti jadinya dua nih.
Eh benar kan jadinya dua, Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Ini akan masuk ke mulut menganga perusak peradaban, namanya media sosial.
Sehingga bagsa ini terbelah menjadi dua di 2014 saling benci dan bertambah lagi di Pilkada 2017.
Di 2019, seakan ini membuka lagi keterbelahan di 2014.
Sekarang terulang lagi nih dan disitu hoax menjadi-jadi, pencemaran dan lain-lain. Akibatnya, kita kehilangan peradaban tidak bisa duduk bareng lagi. Tidak bisa me-manage, tidak bisa menata pemilu ini tidak bisa tertib.
Mulai dari daftar pemilih, kotak suara, server KPU disetting luar negeri, surat suara dicoblos tujuh kontainer dan macam-macam yang diributkan.
Maka penataannya jadi tidak sebagaimana diharapkan.
Tribun : Setelah ini, apakah akan ada tekanan ke parlemen baru?