Laporan wartawan Tribunnews.com, Lendy Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin tak terima bila ada yang masih menyebut Indonesia sebagai negara miskin.
Hal tersebut dinyatakan disebuah gedung, Jalan TB. Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan, Selasa (7/4/2019).
Ia menjelaskan, pengalamannya sebagai aktivis kemanusiaan membuat dirinya yakin Indonesia mayoritas penduduknya bukan kategori miskin.
Menurutnya bantuan yang berhasil dihimpun di lembaga yang dipimpinnya itu untuk negara lain yang terkena bencana kemanusiaan, jumlahnya selalu fantastis.
Baca: Tiru Selandia Baru, ACT Akan Susun Anggaran Berdasarkan Indeks Kesejahteraan
Ia membuktikan, selama 2018 bantuan yang berhasil dihimpun berjumlah 10 ribu ton logistik pangan ke berbagai negara.
"Teman-teman sepanjang 2018 saja mampu mengirimkan 10 ribu ton logistik ke berbagai kawasan terpapar masalah kemanusiaan, ke Somalia kita kirim bantuan, ke pengungsi Suriah kita kirim bantuan, ke Yaman kita kirim bantuan, Palestina, kemudian Rohingya juga," kata Ahyudin.
Baca: Rumah Bahagia ACT Kembangkan Senyum Lansia di Jagabita
Dan Senin yang lalu, ACT berhasil menyalurkan bantuan berjumlah seribu ton logistik pangan ke Gaza, Palestina pasca serangan rudal Israel yang dilancarkan dua hari jelang Ramadan 2019.
Rencananya ACT akan terus mengumpulkan dan menyalurkan bantuan ke Palestina yang saat ini masih sangat kesulitan khususnya di bidang pangan, dengan target 10 ribu ton logistik pangan hingga akhir Ramadan 2019.
Menurut Ahyudin bantuan-bantuan kemanusiaan yang diberikan Indonesia kepada negara lain yang terkena bencana kemanusiaan membuat kesan Indonesia baik di mata dunia.
"Kalau bangsa ini terus memberikan support kemanusiaan kepada bangsa lain, mudah-mudahan Allah membalas kebaikan bangsa ini dengan kebaikan berlipat ganda," tutup Ahyudin.
Sebagaimana diketahui, jargon-jargon Indonesia miskin atau penduduk Indonesia miskin sering dilontarkan untuk kepentingan kampanye, khususnya pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu.
Namun, nyatanya data pemerintah dan data civil society menunjukkan hal yang berbeda.