TRIBUNNEWSWIKI.COM – dr. Cipto Mangunkusumo
Nama Asli : dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
Dikenal : dr. Cipto Mangunkusumo
Lahir : Desa Pecangakan, Ambarawa, Jawa Tengah, 4 Maret 1886
Meninggal : Jakarta, 8 Maret 1943
Makam : Kompleks Pemakaman Watu Ceper, Lingkungan Kupang Tegal, Kelurahan Kupang, Ambarawa Jawa Tengah
Riwayat Pendidikan :
Europeesche Lagere School (ELS), (1899)
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Jakarta (1905)
Riwayat Pekerjaan :
Pasca lulus dari STOVIA pada 28 Oktober 1905, dr. Cipto Mangunkusumo bekerja sebagai dokter pemerintah. Prestasinya sebagai dokter cukup cemerlang, Bersama beberapa dokter lain, ia dapat membasmi penyakit pes yang saat itu tengah mewabah di daerah Malang, Jawa Timur.
Atas jasa itu, Pemerintah Belanda memberikan penghargaan Willem Klas 3 kepadanya, namun oleh Cipto ditolak. Ia lalu mundur sebagai dokter pemerintah dan mulai merambah ke dunia politik.
Cipto lalu aktif menulis di harian De Locomotief sejak 1907. Di sana ia menuliskan kritikan-kritikannya terhadap pemerintah colonial.
Selain itu, Cipto juga dikenal sebagai salah satu pendiri Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Namun tidak berselang lama, karena setahun berikutnya ia mengundurkan diri dari organisasi modern pertama di Indonesia itu.
Dikutip dari historia.id, setelah mundur sebahai dokter pemerintah, Cipto hadir dalam rapat Pengurus Besar Budi Utomo di Yogyakarta pada 9 September 1909. Saat itu, di Budi Utomo Cipto masih menjabat sebagai komisaris.
Dalam rapat itu, Cipto sangat gigih menyuarakan supaya Budi Utomo menjadi organisasi politik yang memperjuangkan kebangsaan dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin bergerak dalam politik kebangsaan.
Namun usunya ditolak. Dikutip dari pahlawancenter.com, pendapat Cipto itu ditentang oleh dr. Rajiman Widyodiningrat. Ternyata pemikiran revolusioner Cipto saat itu belum mendapat tempat di Budi Utomo.
Saat itu, yang terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Budi Utomo adalah R. T. A. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, Jawa Tengah.
Nama Cipto kemudian lenyap dari organisasi itu. Jabatan sebagai Komisaris Pengurus Besar Budi Utomo ia lepas, sekaligus mundur dari keanggotaan Budi Utomo.
Lepas dari Budi Utomo, Cipto bersama Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan Indische Partij.
Saat itu, Cipto menjadi pemimpin surat kabar De Express di Bandung. Pada 19 Juli 1913, Cipto menerbitkan tulisan Suwardi yang berjudul “Andai Saya Seorang Belanda”.
Tulisan itu berisi tentang kritikan kepada Pemerintah Belanda yang merayakan 100 tahun kemerdekaan mereka atas Perancis, namun dengan cara menggalang dana di Hindia Belanda.
Dikutip dari biografipahlawan.com, hanya selang sehari Cipto menerbitkan tulisannya yang berisi dukungan untuk Suwardi. Imbasnya, ia dan Suwardi dimasukkan tahanan pada 30 Juli 1913.
Melihat dua temannya ditahan, Douwes Dekker tidak tinggal diam. Ia kemudian menerbitkan tulisan yang intinya menyatakan Cipto dan Suwardi adalah pahlawan.
Akibatnya, keadaan semakin buruk. Pada 18 Agustus 1913, tiga serangkai itu dibuang ke Belanda.
Di Belanda, Cipto bergabung dengan Indische Vereeniging, perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia di Belanda.
Karena pengaruh Cipto dan rekan-rekannya, Indische Vereeniging kemudian membuat surat kabar Hindia Poetra pada 1916. Surat kabar ini yang nantinya memberikan pemahaman kepada rakyat Belanda akan pentingnya Politik Etis.
Selama di Belanda, kesehatan Cipto menurun. Asmanya kambuh, ia juga terkena serangan syaraf. Atas dasar itu, pada 1914 akhirnya ia kembali dipulangkan ke Jawa.
Ternyata semangat perlawanannya masih tetap membara. Sepulang dari Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Cipto menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Tujuannya untuk melunakkan Cipto yang dianggap radikal.
Namun hal itu tidak membuahkan hasil, Cipto tetap keras dan kritis pada pemerintah. Akhirnya ia dijadikan sebagai tahanan kota.
Dikutip kembali dari historia.id, Cipto juga sempat ikut dalam pemogokan petani perkebunan di Polanharjo, Klaten, pada 1919. Akibatnya, Cipto kembali dibuang ke Banda Neira selama 14 tahun sejak 1927 karena dituduh telah melakukan sabotase.
Ia sempat diberi kesempatan untuk pulang, dengan syarat melepaskan hak politiknya. Namun Cipto menolak tegas.
Karena penyakitnya makin parah, pada 1942 Cipto dipindahkan oleh Jepang ke Jatinegara. Karena asmanya makin parah, ia dirawat di Rumah Sakit “Yang Tseng Ie”, Jakarta.
Namun nyawa dr. Cipto tidak bisa diselamatkan. Kondisinya terus memburuk hingga pada 8 Maret 1943 ia menghembuskan napas terakhirnya di Jakarta.
Cipto mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional setelah diterbitkannya Surat Keputusan Presiden RI No. 109 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964.
Keluarga :
Ayah : Mangunkusumo
Ibu : Suratmi
Istri : Maria Vogel alias Siti Aminah
Anak : Donald Vogel, Louis Vogel dan Pestiati Pratomo
(TribunnewsWIKI/Widi)