TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KPK siap menghadapi permohonan praperadilan yang diajukan Direktur Utama PT PLN nonaktif Sofyan Basir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Sofyan merupakan tersangka kasus korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
"Belum ada dokumen dari pengadilan yang kami terima di Biro Hukum. Namun, jika memang ada praperadilan yang diajukan, KPK pasti akan hadapi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Jumat (10/5/2019).
Dia menyatakan lembaganya sangat yakin dengan prosedur dan substansi dari perkara Sofyan yang sedang ditangani saat ini. Apalagi sejumlah pelaku lain telah divonis bersalah hingga berkekuatan hukum tetap.
Sofyan resmi mengajukan praperadilan pada Rabu (8/5) dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN.JKT.SEL terhadap termohon yakni Komisi Pemberantasan Korupsi cq pimpinan KPK dengan klarifikasi perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka.
Kasus ini bermula saat Sofyan bersama-sama dengan Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih dan mantan Menteri Sosial Idrus Marham diduga membantu memuluskan perusahaan Blackgold Natural Resources Limited milik Johannes Budisutrisno Kotjo sebagai konsorsium penggarap proyek PLTU Riau-1.
Baca: Sambangi Pelabuhan Merak, Kakorlantas Polri Tinjau Jalur Mudik Sumatera
Keterlibatan Sofyan berawal ketika Direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PT PLN (Persero) surat, pada Oktober 2015. Surat pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Sayangnya, surat tak ditanggapi. Johannes akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri Eni, Sofyan, dan Johannes. Namun, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-1. Sebab, mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit. PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 Megawatt kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka. Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources Ltd (BNR) dan China Huadian Engineering Co (CHEC).
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis.
Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsijuncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.