TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian mengungkap rencana aksi pembunuhan terhadap sejumlah tokoh nasional dan pimpinan lembaga survei di balik terungkapnya terduga pelaku kepemilikan senjata api terkait kerusuhan 21-22 Mei lalu.
"TJ (salah-seorang tersangka) diminta membunuh dua tokoh nasional," ungkap Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (27/05).
Terungkapnya rencana pembunuhan ini, menurut polisi, berdasarkan keterangan salah-seorang dari enam tersangka kepemilikan senjata api ilegal yang sudah ditangkap polisi.
"Saya tidak bisa sebutkan (nama tokoh nasional) di depan publik," kata Iqbal.
Baca: Orang Terlatih Diduga Bongkar Peluru Tajam dari Mobil Brimob Saat Kerusuhan 22 Mei
Baca: Temuan KPAI, Ada Guru Ngaji Mengajak Anak-anak Ikut Aksi 22 Mei
Temuan tim penyelidik juga mengungkap bahwa jaringan kelompok itu berencana membunuh pimpinan sebuah lembaga survei.
Terungkapnya rencana pembunuhan ini, menurut polisi, berdasarkan keterangan salah-seorang dari enam tersangka kepemilikan senjata api ilegal yang sudah ditangkap polisi.
"Dari keterangan tersangka tersebut, (mereka) sudah beberapa kali survei ke kediaman tokoh tersebut, diperintahkan untuk eksekusi dan sudah terima uang lima juta Rupiah," paparnya.
Iqbal menyebut kelompok tersebut "berpengalaman" dan "profesional".
Baca: Keputusan Sandiaga Uno Setelah Namanya Ramai Disebut Masuk Daftar Calon Menteri Jokowi-Maruf
Siapa tersangka kepemilikan senjata api ilegal?
Di hadapan wartawan, polisi mengungkap inisial enam orang tersangka kasus kepemilikan senjata api ilegal.
Mereka kini mendekam di tahanan kepolisian.
Hasil penyelidikan kepolisian juga mengungkap para terduga pelaku telah menerima uang dari seseorang yang berkisar antara Rp5 juta hingga Rp150 juta.
Tersangka pertama yang berinisial HK disebut polisi sebagai berperan sebagai pemimpin, mencari senjata api dan eksekutor, serta sekaligus sebagai eksekutor.
Baca: Ini Rekaman CCTV Diduga Perusuh 22 Mei ke Bawaslu Diangkut Pakai Mobil Ambulans
Tim penyelidik kepolisian juga masih mendalami peran dan keterlibatan seseorang yang diduga sebagai pimpinan kelompok tersebut.
"Serta memimpin tim turun pada aksi 21 Mei 2019, dengan membawa satu senpi," ungkap Iqbal. HK disebut menerima uang sebesar Rp150 juta. Dia ditangkap di sebuah hotel di kawasan Menteng, Jakarta, 21 Mei 2019.
Adapun tersangka kedua, yaitu AZ, yang berperan mencari eksekutor dan sekaligus sebagai eksekutor. "Sementara tersangka ketiga adalah IR yangh berperaran sebagai eksekutor yang menerima uang Rp5 juta," ujarnya.
Tersangka keempat, berinisial TJ, yang berperan sebagai eksekutor dan menguasai senjata api rakitan laras pendek dan senpi rakitan laras panjang. "Tersangka TJ menerima uang Rp55 juta," kata Iqbal.
Lebih lanjut tersangka kelima AD yang berperan sebagai penjual tiga pucuk senpi rakitan kepada tersangka HK. "Dia menerima penjualan senpi sebesar Rp26,5 juta."
Hasil penyelidikan kepolisian juga mengungkap para terduga pelaku telah menerima uang dari seseorang yang berkisar antara Rp5 juta hingga Rp150 juta.
Menurut Iqbal, hasil pemeriksaan urine TJ dan AD, mereka positif mengkonsumsi narkoba. "Kadang-kadang orang yang ingin keberaniannya meningkat, mereka menggunakan itu (narkoba)."
Selanjutnya tersangka keenam, AF (perempuan) berperan sebagai pemilik dan penjual senpi ilegal kepada tersangka HK. "Dia menerima penjualan senpi sebesar Rp50 juta."
Di hadapan wartawan, M Iqbal kemudian menunjukkan salah-satu barang bukti yaitu senjata api rakitan laras panjang yang dilengkapi teleskop.
"Jadi diduga kuat memang ingin menghabisi dari jarak jauh," katanya.
Apa kaitan pemilikan senjata ilegal dan rencana pembunuhan?
Menurut Iqbal, pada 14 Maret 2019, tersangka HK menerima uang Rp150 juta, dan TJ mendapat bagian uang sebesar Rp25 juta Rupiah dari seseorang - yang identitasnya sudah dikantongi oleh kepolisian.
"Di mana TJ diminta untuk membunuh dua orang tokoh nasional," kata Iqbal, tanpa mau menyebut identitas mereka.
Sebulan kemudian, tersangka HK mendapat perintah kembali untuk membunuh dua tokoh nasional lainnya.
"Jadi ada empat target kelompok ini untuk menghabisi nyawa tokoh nasional," ungkapnya.
Menurut Iqbal, pada 14 Maret 2019, tersangka HK menerima uang Rp150 juta, dan TJ mendapat bagian uang sebesar Rp25 juta Rupiah dari seseorang - yang identitasnya sudah dikantongi oleh kepolisian.
Masih di bulan April, sejumlah tersangka juga menerima perintah dari tersangka AZ untuk membunuh seorang pimpinan lembaga survei.
"Dan tersangka tersebut sudah beberapa kali mensurvei rumah tokoh tersebut, diperintahkan untuk mengeksekusi dan tersangka tersebut, IR, sudah mendapat uang sebesar Rp5 juta," paparnya.
Pada 21 Mei, tersangka HK dengan membawa satu senpi serta tim turun bercampur dengan massa aksi.
Apakah ada kelompok lain yang 'menunggangi' demo 21-22 Mei?
"Kita tidak tahu, kelompok-kelompok lain yang sudah lolos (dalam unjuk rasa 21-22 Mei," kata Iqbal.
Menurutnya, keberadaan kelompok yang baru saja diungkapkan ini, berbeda dengan kelompok lain yang juga diduga terlibat penggunaan senjata api seperti diungkapkan Kapolri dan Menkopolhukam pekan lalu.
"Fakta hukumnya beda, tersangka beda dan senpinya beda. Jadi sudah ada dua kelompok (berbeda) yang sudah terdeintifikasi," tambahnya.
Sebelumnya, kepolisian mengungkap dugaan keterlibatan pensiunan jenderal yang diduga terlibat pengiriman senjata untuk demonstrasi 22 Mei.
Sebelumnya, polisi juga menangkap sejumlah orang terkait sebuah organisasi yang disebut pernah mendukung ISIS. Mereka dilaporkan terlibat dalam unjuk rasa yang berlanjut menjadi kerusuhan tersebut.
Apakah senjata ilegal itu 'digunakan' saat rusuh 21-22 Mei?
Ketika ditanya wartawan apakah sebagian tersangka sudah menggunakan senjata ilegal itu saat kerusuhan 21-22 Mei, Iqbal mengatakan: "Itu belum bisa dijawab, investigasi masih berjalan."
Tim penyelidik kepolisian juga masih mendalami peran dan keterlibatan seseorang yang diduga sebagai pimpinan kelompok tersebut.