Batunya pun buka batu kecil, besar semua. Waktu itu perintah komandan saya semuanya bertahan, tidak ada yang menggunakan peluru tajam," tuturnya.
Ibrahim mengatakan butuh beberapa waktu sebelum seluruh personel dapat mengganti amunisi menggunakan pelontar gas air mata yang diharap ampuh membubarkan massa.
Ruang gerak sekitar 50 personel Brimob yang berada di lokasi semakin terbatas karena kobaran api kian membesar, sementara kebanyakan mobil Barracuda korps Brimob dikerahkan ke Bawaslu RI.
"Sembari menunggu logistik mengganti peluru kami bertahan di situ dengan seadanya saja.
Kami menunggu, kami langsung ganti (amunisi). Kami bertahan di antara mobil-mobil," lanjut Ibrahim.
Di tengah kerusuhan Ibrahim menyaksikan pemandangan pilu, yakni jerit tangis ketakutan para istri dan anak sesama rekannya yang sedang bertugas mengamankan aksi 22 Mei.
Dia mengaku tak dapat membayangkan bagaimana nasib para istri dan anak tersebut bila 50 personel yang ada di lokasi gagal mengamankan asrama Brimob Petamburan.
"Saya lihat ada ibu-ibu sama anak-anak penghuni. Pada nangis semua di belakang. Itu yang bikin kami bisa bertahan di situ.
Seandainya bisa jebol bagaimana dengan kondisi anak anggota yang tinggal di situ.
Mungkin bapaknya juga lagi enggak ada di rumah, lagi dinas," kata dia.
Di tengah keterbatasan amunisi gas air mata, kelelahan, dan kobaran api, 50 personel Brimob bertahan selama nyaris tiga jam dilempari batu, bom molotov, petasan, dan benda lain.
Sekira pukul 04.30 WIB, Ibrahim menyebut tiba sejumlah personel pengurai massa dari Polda Metro Jaya yang berhasil mendesak massa perusuh dari arah Slipi, Jakarta Barat.
"Mereka usir massa yang dari Slipi, sehingga kami yang di Gegana mendorong massa yang ke arah Tanah Abang.
Kami dorong sampai di depan rumah sakit Pelni, saya dorong itu supaya massa pecah di gang-gang sekitar situ," ujarnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Cerita AKP Ibrahim Detik-detik Rusuh di Asrama Brimob, Melihat Istri dan Anak Rekannya Menangis