TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) memeriksa Menteri Energi, Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Jumat (31/5/2019). KPK memeriksa Jonan sebagai saksi kasus suap proyek pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1.
Ignasius Jonan menjalani pemeriksaan selama enam jam terkait kasus ini.
Setelah merampungkan pemeriksaan, Jonan keluar dari Gedung KPK pukul 14.45 WIB.
Jonan menjelaskan materi pemeriksaan yang ditanyakan tim penyidik KPK kepada dirinya adalah tentang tugas, pokok dan fungsi menteri ESDM.
"Tentang tupoksi. Jadi tupoksinya kan ada tupoksi menteri di bidang pertambangan atau minerba, juga ada tupoksi di bidang kelistrikan," ucap Jonan di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2019).
"Jadi ditanya peranan kementerian di dalam pertambangan, persetujuan sampai mana di bidang kelistrikan, mana fungsi kementerian sebagai regulator, mana PLN dan sebagainya," tutur Jonan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan Jonan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.
KPK resmi menahan Sofyan Basir pada Senin (27/5/2019) malam. Dia bakal ditahan selama 20 hari ke depan.
Sofyan Basir ditahan guna penyidikan lebih lanjut perkara yang menjeratnya.
Sofyan diduga membantu bekas anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan pemilik saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo mendapatkan kontrak kerja sama proyek senilai USD 900 juta atau setara Rp 12,8 triliun.
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir setelah resmi ditahan, Jumat (31/5/2019).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan Sofyan ditelisik tim penyidik soal perannya dalam proyek yang menelan biaya 900 juta dolar AS atau setara Rp 12,8 triliun.
"Tim penyidik mengklarifikasi pengetahuan tersangka terkait dengan fee yang telah diterima Eni Maulani Saragih dkk," kata Febri, Jumat (31/5/2019).
Dalam perkara PLTU Riau-1, kata Febri, tim penyidik KPK telah memeriksa sebanyak 78 saksi, antara lain pejabat PLN dan anak perusahaan PLN, anggota DPR-RI dan swasta lainnya.
Sofyan tak banyak bicara terkait materi pemeriksaannya saat tiba di gedung KPK.
"Assalamualaikum, selamat puasa," ucap Sofyan singkat sembari menutupi tangannya yang terborgol sebelum masuk ke dalam Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (31/5/2019).
Keterlibatan Sofyan berawal ketika direktur PT Samantaka Batubara mengirimi PLN surat pada Oktober 2015.
Surat itu pada pokoknya memohon PLN memasukkan proyek ke Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Surat itu tak ditanggapi. Pemilik saham Blackgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo akhirnya mencari bantuan agar dibukakan jalan berkoordinasi dengan PLN untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listnk Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Pertemuan diduga dilakukan beberapa kali. Pertemuan membahas proyek PLTU itu dihadiri mantan Anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, Sofyan dan Johannes.
Namun demikian, beberapa pertemuan tak selalu dihadiri ketiga orang tersebut.
Selanjutnya pada 2016, Sofyan menunjuk Johannes mengerjakan proyek Riau-1. Alasannya mereka sudah memiliki kandidat mengerjakan PLTU di Jawa.
Padahal, saat itu Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang menugaskan PT PLN menyelenggarakan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK) belum terbit.
PLTU Riau-1 dengan kapasitas 2x300 MW kemudian diketahui masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.
Johannes meminta anak buahnya siap-siap karena sudah dipastikan Riau-1 milik PT Samantaka.
Sofyan lalu memerintahkan salah satu Direktur PT PLN merealisasikan Power Purchase Agreement (PPA) antara PLN dengan Blackgold Natural Resources (BNR) dan China Huadian Engineering Co (CHEC).
Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis.
Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.
Sofyan dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dlubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 ayat (2) KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Tribun Network/ham)