TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pangan merupakan kebutuhan mendasar untuk dapat mempertahankan hidup.
Negara yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangan rentan terhadap gejolak, baik gejolak harga hingga tergantung pada pasokan negara lain.
Bahkan, kedaulatan negara sebenarnya dalam konteks praktis bertumpu pada swasembada pangan.
Pakar sejarah dari Universitas Padjajaran (Unpad), Dr Tiar Anwar Bahtiar mengatakan, swasembada pangan itu proyek yang bagus.
"Kalau mau jadi negara yang mandiri, harus bisa memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Tidak tergantung pada orang lain," kata Tiar, Jumat (7/6/2019).
Menurut dia, pangan menjadi magnet perhatian publik dan pemerintah sekarang harus memprioritaskan komoditas pangan.
"Jadi kalau sekarang terlalu banyak impor pangan seperti jagung dan kedelai, itu menandakan negara kita lemah," ujar mantan ketua umum Pemuda Persis ini.
Jaman pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia mengalami swasembada pangan.
Pada tahun 1984, Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton.
Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
"Satu strategi yang digagas Pak Harto untuk memajukan sektor pertanian kala itu adalah Revolusi Hijau adalah cara bercocok tanam dari tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian," katanya.
Revolusi Hijau muncul karena adanya masalah kemiskinan yang disebabkan pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan.
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk menggalakkan revolusi hijau, diantaranya upaya intensifikasi pertanian, ekstensifikasi pertanian, diversifikasi pertanian, dan rehabilitasi pertanian.
"Sesuatu yang dikerjakan Pak Harto harus menjadi contoh bahwa (negara) kita bisa swasembada pangan," kata Tiar.
Maka, tidak ada salahnya jika pemerintah yang berkuasa berkaca pada sejarah tentang keberhasilan negeri ini mengubah posisi net importer beras menjadi pengekspor beras terbesar.