TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Indria Samego menyarankan agar Gerindra tetap berada di luar pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin untuk periode 2019-2024.
Karena suara pemilih Gerindra, dia menyakini, berkeinginan agar partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu menjadi oposisi untuk mengkritisi dan mengawasi kerja-kerja pemerintah.
"Kalau Gerindra ingat pada suara rakyat, tetap saja konsisten dengan pilihannya," ujar Indria Samego yang juga anggota dewan pakar The Habibie Center ini kepada Tribunnews.com, Kamis (13/6/2019).
Hal itu disampaikan untuk menanggapi Jokowi membuka pintu selebar-lebarnya bagi partai politik oposisi untuk bergabung bersama partai politik pendukung pemerintah periode 2019-2024.
Terutama bagi Partai Gerindra yang dipimpin rival Jokowi dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto.
Meskipun memang, kata dia, sistem pemerintahan di Indonesia tidak mengenal oposisi.
Menurut dia, negeri ini tetap memerlukan keseimbangan antara pemerintah dan di luar pemerintah untuk memastikan berjalannya program dan pembangunan.
Baca: Kapolri Pilih Gandeng Komnas HAM Dibanding Bentuk Tim Pencari Fakta
Dia berharap para elite politik tidak mengorbankan kepentingan rakyat demi kebahagian elit saja, ketika memutuskan semua partai politik berada dalam satu perahu pendukung pemerintah.
"Jangan ada membuka diri tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat. Terlalu mahal bila rakyat terus dikorbankan demi kebahagiaan elit," tegasnya.
Senada dengan itu Pengamat politik Ray Rangkuti juga berpendapat, sudah cukup jumlah partai politik yang bergabung di koalisi pemerintahan Jokowi-KH Ma'ruf Amin.
Menurut dia, perlu juga partai-partai politik di Senayan yang menjadi penyeimbang dan mengoreksi atau mengkritisi pemerintahan kedepannya. Sehingga pemerintahan menjadi tetap terawasi.
"Komposisinya juga sudah relatif seimbang. Dan karena itu pula, tidak perlu terlalu memaksakan agar lebih banyak partai masuk ke dalam koalisi Jokowi," maka pilihannya adalah mencukupkan partai pendukung," ujar Ray Rangkuti kepada Tribunnews.com, Kamis (13/6/2019).
Sebab, banyak partai politik dalam deretan pendukung Jokowi juga dapat berakibat tidak baik bagi demokrasi. Keseimbangan kekuasaan tidak berjalan dengan semestinya.
"Dengan 4 partai yang ada saja, komposisinya sudah hampir 60 persen kursi legislatif dikuasai oleh petahana," jelas Ray Rangkuti.
Kalau pun akan ada penambahan partai politik ke dalam koalisi pemerintah, maka dia menilai, cukup Partai Demokrat.
Sedangkan yang lain tetap berada di barisan oposisi di Parlemen.
"Adapun PAN, apalagi PKS dan Gerindra sebaiknya dibiarkan di barisan luar atau oposisi," jelas Ray Rangkuti.
Tentu saja kata dia, oposisi yang dimaksud adalah oposisi konstruktif dan menumbuhkan peradaban.
"Bukan oposisi asal beda, apalagi oposisi tukang nyinyir," ucapnya.
Bagaimanapun, dia menilai, negara demokrasi yang kuat harus diimbangi oleh kekuatan oposisi yang elegan.
Selain kualitas oposisinya harus dikembangkan, besaran pendukungnya juga harus berimbang.
Karena oposisi yang elegan ditambah dukungan publik yang kuat akan dapat menjadi mitra kritis pemerintah. Dan itu akan membuat negara kita kuat dan bergerak dinamis.
"Hanya presiden yang kurang percaya diri yang menginginkan serta banyak dukungan kepadanya. Tapi presiden yang juga memperhatikan betapa demokrasi harus dikelola, ia juga akan mendorong lahir dan kuatnya gerakan oposisi," tegasnya.
Jokowi Buka Pintu Jika Gerindra Ingin Gabung
Presiden Joko Widodo membuka pintu selebar-lebarnya bagi partai politik oposisi untuk bergabung bersama partai politik pendukung pemerintah periode 2019-2024.
Terutama bagi Partai Gerindra yang dipimpin rival Jokowi dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto.
Sebagaimana dikutip dari wawancara khusus dengan Jakarta Post, Rabu (11/6/2019) kemarin, Jokowi mengaku, membuka diri bagi siapa saja yang ingin bekerja sama membangun negara.
“Saya terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama untuk mengembangkan dan membangun negara bersama,” ujar Jokowi saat ditanya spesifik mengenai kemungkinan masuknya Gerindra ke koalisi pendukung pemerintah.
“Sangat tidak mungkin bagi kami untuk membangun negara sebesar Indonesia sendirian. Kami membutuhkan kerja bersama,” lanjut dia.
Posisi Gerindra di DPR periode 2019-2024 relatif kuat. Pada Pileg 2019, Gerindra menempati urutan ketiga parpol yang memperoleh suara terbanyak dengan 17.594.839 suara atau 12,57 persen.
Meski demikian, Jokowi menegaskan, prinsip yang akan dikedepankan adalah musyawarah untuk mufakat sekaligus kontrol yang baik dalam menjalankan pemerintahan.
“Semangat kita tetap musyawarah untuk mufakat. Bagaimanapun, sebuah negara demokrasi besar tetap membutuhkan kontrol, baik dari internal maupun dari eksternal,” ujar Presiden.
Lebih akrab dengan Gerindra Masih dikutip dari Jakarta Post, elite tiga parpol pendukung pemerintah, yakni PDI-P, PKB dan PPP juga telah berbincang mengenai kemungkinan mengundang Gerindra bergabung ke koalisi.