Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran berita bohong atau hoaks di tengah kemajuan teknologi dan informasi kini menjadi persoalan yang cukup serius di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Disinformasi yang sering tersebar di jejaring sosial media Whatsapp, Facebook hingga Twitter ini salah satunya berkaitan dengan politik.
Tak jarang, masyarakat yang berbeda pandangan politik berdebat bahkan bertengkar dengan kerabat hingga keluarga akibat informasi yang sebetulnya belum dapat dipastikan.
Lantas, mengapa sebagian orang mudah percaya terhadap hoaks?
Baca: Survei SMRC: Kerusuhan 22 Mei Tidak Berpengaruh Terhadap Perekonomian Nasional
Baca: Remaja 16 Tahun Tenggelam Di Embung Desa Siru Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat
Baca: Menhan Ryamizard Ryacudu: Lambat atau Cepat, Polisi Nanti akan di Bawah Kementerian
Baca: Ribuan orang berunjuk rasa di Hong Kong meski RUU kontroversial sudah ditangguhkan
Akademisi di bidang Rekayasa Genetik di Universitas Oxford, Muhammad Hanifi menjelaskan, salah satu faktor yang menyebabkan individu mudah percaya hoaks adalah sifat bias atau keberpihakan terhadap informasi.
Ketika mendapatkan suatu informasi baru, mereka akan bergantung pada pola pikiran, perilaku dan pengalamannya di masa lalu.
"Salah satu faktornya bias informasi. Kita memfilter informasi-informasi yang kita baca. Informasi yang sesuai dengan latar belakang, ideologi kita cepat diterima, kalau sebaliknya langsung ditolak," kata Hanifi dalam diskusi bertajuk ‘Kecerdasan Buatan dan Biopolitik; Membangun Masyarakat Kebal Semburan Dusta' di kantor Microsof Indonesia, Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Minggu (16/6/2019).
"Misalnya mereka yang antivaksin. Walaupun evidence vaksin buruk itu cuma satu dia langsung meyakini itu benar. Info awalnya dia kesulitan pas ke dokter ngantre bayar mahal, akhirnya punya persepsi dokter tidak baik. Temannya bilang vaksi akal-akalan dokter, akhirnya dia percaya. Karena punya persepsi awalnya dokter tidak baik, akhirnya info vaksin aman dan baik untuk kesehatan dihiraukan," paparnya.
Hanifi melanjutkan, kemampuan orang tidak percaya hoaks belum tentu dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan saja.
Dia mencontohkan seorang ilmuwan asal Amerika Serikat yang meraih penghargaan nobel, James Dewey Watson.
Meski dikenal sebagai orang berpendidikan, Watson, lanjutnya, sering melontarkan teori yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
Baca: Kabar Bagus dari Saddil Ramdani pada Lanjutan Liga Malaysia Pasca-lebaran
Baca: Budi Sudjatmiko: Semburan Dusta di Indonesia Tidak Bisa Mencapai Kemenangan Politik
"Pernyataan dia suka tidak scientific, misal ada hubungan paparan tubuh ke matahari dengan kehebatan dalam bercinta. Dia juga punya pandangan misoginis, perempuan lebih payah berpikir matematik. Ini tidak ada datanya padahal dia orang berpendidikan. Tapi yang dukung banyak. Jadi banyak rentan pada biased information ini," jelasnya.
Dalam diskusi ini, Hanifi juga mengenalkan studi genopolitik, yakni studi yang mencari hubungan antara faktor genetika manusia dengan pandangan politiknya.