“Upaya mencari keadilan pun mentok di MK, karena putusan MK bersifat final dan mengikat. Di situlah mestinya hakim konstitusi lebih wise (bijak),” paparnya.
Murphi kemudian menjelaskan, sesuai kewenangan yang diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk, pertama, menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; kedua, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; ketiga, memutus pembubaran partai politik; dan keempat, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Yang dimaksud putusan MK bersifat final, jelas Murphi, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh.
“Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Jadi, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut,” urainya.
Adapun sifat mengikat, lanjut Murphi, berarti putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
MK pada Kamis (27/6/2019) malam membacakan putusan PHPU yang diajukan Prabowo-Sandi. Dalam amat putusan yang dibacakan Ketua MK yang juga Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, MK menolak seluruh permohonan pemohon.
Dengan putusan ini, pasangan Jokowi-Maruf tetap sebagai pemenang Pilpres 2019, sebagaimana keputusan KPU.