News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Suap Proyek PLTU Riau 1

JPU pada KPK Sebut Sudah Merinci Peran Sofyan Basir di Surat Dakwaan

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Utama nonaktif PT PLN (Persero) Sofyan Basir menjalani sidang dakwaan kasus suap proyek PLTU Riau-1 di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/6/2019). Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Sofyan Basir melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi yakni memfasilitasi pengusaha dalam kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau 1 saat dirinya masih menjabat sebagai Direktur Utama PT PLN Persero. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK membantah alasan tim penasihat hukum terdakwa Sofyan Basir yang menyatakan JPU pada KPK telah membuat surat dakwaan yang membingungkan terkait kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang menjerat Sofyan Basir.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, Budhi Sarumpaet, menegaskan JPU pada KPK sudah menyusun surat dakwaan secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Menurut dia, penerapan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam Surat Dakwaan Perkara A quo merupakan penekanan terhadap unsur pembantuan dan ancaman hukuman pidana terhadap terdakwa dengan tetap mempertimbangkan kepentingan keadilan substantif dengan tanpa mengorbankan hak-hak terdakwa dalam melakukan pembelaan perkara ini.

"Dengan demikian, alasan (dalih) penasihat hukum yang menyatakan bahwa dengan menjunctokan Pasal 15 Undang-Undang Tipikor dengan Pasal 56 ke-e KUHP dalam surat dakwaan sangat membingungkan terdakwa adalah tidak beralasan sama sekali," kata Budhi Sarumpaet, di Pengadilan Tindak Pidana Korusi Jakarta, Senin (1/7/2019).

Dia menjelaskan, menjunctokan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka terlihat secara jelas dan nyata rumusan delik atas perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini sesuai dengan Pasal 56 ke-2 KUHP.

Sehingga, kata dia, untuk membuat terang dan jelas tentang peran terdakwa dalam surat dakwaan dalam perkara a quo, maka penuntut umum menjunctokan dengan rumusan unsur delik pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ke-2 KUHP.

Baca: 33 Orang Tim Hukum 01 dan Erick Thohir Akan Temui Jokowi di Istana Bogor

"Sehingga nantinya dapat memudahkan terdakwa dan penasihat hukum untuk menyusun pembelaan. Sebaliknya. Apabila penuntut umum tidak menjunctokan ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka akan terjadi ketidakjelasan rumusan delik pembantuan, mengingat Pasal 15 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur mengenai rumusan unsur delik pembantuan," ungkapnya.

Dia menegaskan pencantuman ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan bertujuan agar surat dakwaan perkara a quo yang mendakwakan rumusan unsur pembantuan dapat dengan mudah dan jelas dipahami oleh terdakwa dan penasihat hukumnya serta pencantuman pasal 15 UU Tipikor dalam surat dakwaan adalah sebagai penerapan ketentuan khusus terhadap ancaman hukuman pidana bagi terdakwa berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali.

Untuk itu, dia menyatakan, alasan atau dalih penasihat hukum terdakwa haruslah dinyatakan ditolak dan dikesampingkan.

Sebelumnya, dalam perkara proyek PLTU Riau-1 yang menelan biaya USD 900 juta ini, KPK sudah menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka keempat menyusul pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

Sofyan diduga menerima janji fee proyek dengan nilai yang sama dengan Eni Saragih dan Idrus Marham dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johannes Kotjo.

KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd., dan investor China Huadian Engineering Co. Ltd. (CHEC).

Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo.

KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.

Sofyan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka merupakan pengembangan penyidikan Eni, Johannes, dan Idrus Marham yang telah divonis. Eni dihukum enam tahun penjara, Kotjo 4,5 tahun penjara dan Idrus Marham 3 tahun penjara.

Atas perbuatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Sofyan Basir, Direktur Utama PT PLN (Persero) nonaktif, mengatur pertemuan untuk membahas pemufakatan jahat suap kontrak kerjasama proyek PLTU Riau-1.

Sofyan Basir mengatur pertemuan antara Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham, dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisn Kotjo, dengan jajaran Direksi PT PLN.

JPU pada KPK menjelaskan, Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan Eni, Idrus, dan Kotjo dengan jajaran Direksi PT PLN untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dengan BNR, Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited yang dibawa oleh Kotjo.

Padahal, kata JPU pada KPK, terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, sehingga Eni, selaku anggota Komisi VII DPR RI dan Idrus menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp 4,75 Miliar.

Pada dakwaan pertama, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Ataupun pada dakwaan kedua, JPU pada KPK mendakwa Sofyan Basir melanggar
Pasal 11 huruf a jo Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini