Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Formappi (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia) Lucius Karus mengkritik panitia seleksi (Pansel) calon pimpinan KPK RI.
Menurutnya, Pansel Capim KPK terkesan menganggap biasa saja kehadiran sejumlah perwira tinggi Polri, TNI, dan jaksa yang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK.
Baca: Capim KPK 2019, Peneliti LIPI Khawatir Ada Skenario Jinakkan KPK
Ia menegaskan pansel capim KPK harus dikontrol secara ketat supaya tak terjebak pada paradigma orde baru.
Yang dimaksudnya dengan paradigma orde baru adalah terlalu mempercayakan penegakan hukum kepada aparat.
“Pansel KPK terkesan menganggap kehadiran polisi, TNI, dan jaksa dalam pendaftaran capim KPK sebagai hal biasa. Panselnya harus kita kawal dan kontrol secara ketat supaya tak terjebak dalam paradigma lama. Seolah-olah hanya orang dari lembaga seperti polri dan TNI saja yang mampu membuat KPK menjadi kuat, seolah-olah sipil tak berdaya,” ungkapnya dalam diskusi “KPK di Persimpangan Jalan” yang digelar Vox Point Indonesia di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat (5/7/2019).
Baca: Penentuan Lulus SBMPTN 2019 Disorot, PTN Pilih yang Pilihan 1 Meski UTBK Kalah, Ogah Dinomorduakan
Lucius Karus khawatir jika KPK terlalu berwarna ‘polisi’.
Padahal menurutnya KPK hadir juga sebagai pengkoreksi lembaga seperti Polri juga.
Ia juga menyoroti proses seleksi yang tidak terbuka dan tidak transparan.
Baca: Cak Imin Minta Restu Maruf Amin Posisi Ketua MPR RI
“Bukannya tak percaya dengan polisi, tapi dengan sistem seleksi yang tak transparan dan tak terbuka memungkinkan adanya konspirasi meloloskan mereka. Kalau terlalu banyak polisi pegang kendali di KPK maka warna KPK akan seperti Polri,” pungkasnya.
Diketahui ada tujuh orang perwira tinggi Polri yang mendaftar sebagai capim KPK bersama 1 anggota TNI aktif serta 12 jaksa dari total 384 orang yang mendaftar.
Ada upaya "jinakkan" KPK
Peneliti LIPI Bidang Politik Profesor Syamsuddin Haris mengkhawatirkan akan adanya skenario untuk "menjinakkan" atau melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proses seleksi Calon Pimpinan KPK tahun 2019 ini.
Haris menilai semangat awal pembentukan KPK adalah sebagai upaya penegakan pemerintahan yang bersih dan pemberantasan KKN sebagai akibat ketidak mampuan atau kegagalan institusi Kepolisian dan Kejaksaan melakukan tugas dan tanggung jawabnya terkait hal tersebut.
Baca: Pendaftaran Pimpinan KPK Ditutup Kemarin, Ini Nama 3 Pendaftar yang Berasal dari Internal KPK
"Makanya bagi saya menjadi aneh kalau kemudian institusi Kepolisian disibukkan untuk menyiapkan anggotanya, memasuki seleksi capim KPK sebab potensi munculnya konflik kepentingan itu tinggi sekali," kata Haris dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan pada Jumat (5/7/2019).
Lebih jauh ia berpendapat, apabila pimpinan KPK dikuasai oleh Polisi aktif dan setelah terpilih kemudian pensiun, ia khawatir KPK akan terkooptasi oleh institusi kepolisian.
"Bahasa lainnya terkooptasi itu dikendalikan. Dan kalau dikendalikan tentu skenario menjinakkan KPK itu berhasil," kata Haris.
Ia juga berpendapat, jika natinya ada jenderal yang terpilih sebagai pimpinan KPK, tentu mau tidak mau musti mundur sebab bagaimanapun jabatan di KPK adalah jabatan publik yang meniscayakan pejabat tinggi kepolisian aktif itu mengundurkan diri.
"Saya tidak tahu sejauh mana bahwa bisa saja ada penugasan dari pimpinan kepolisian kepada anak nuahnya untuk menjadi katakanlah salah satu dari pimpinan KPK. Saya berpendapat kalau situasinya seperti itu, pada hakekatnya KPK sudah bubar. Sebab bagaimanapun kuncinya pada independensi pimpinan, komisioner KPK itu terhadap institusi pemerintah dan negara apapun, termasuk kepolisian," kata Haris.
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan proses seleksi di tahapan DPR RI Komisi III mengingat tahapan tersebut adalah tahapan yang sangat menentukan.
"Kalau Komisi III DPR, wakil-wakil kita di senayan kita di sana juga punya keinginan untuk menjinakan KPK, mengingat teman-temannya banyak yang di OTT banyak yang ditangkap, ya sudahlah. Habis pula KPK kita," kata Haris.
Kekhawatiran Haris tersebut muncul karena ia menduga calon pimpinan KPK 2019 akan diseleksi oleh anggota DPR RI Komisi III yang terpilih pada 2014 lalu.
Hal itu karena ia mensinyalir, para anggota DPR RI Komisi III memiliki keinginan yang kuat untuk menjinakan KPK mengingat banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau perkara korupsinyang melibatkan anggota DPR RI pada periode tetsebutn
"Jadi kita memang masih akan menunggu. Ini kan tahapnya masih agak panjang, walaupun sangat mungkin Capim KPK 2019 akan dihasilkan DPR hasil pemilu 2014. Kalau kita mengikuti DPR hasil Pemilu 2014, keinginan untuk membuat KPK jinak itu kan tinggi sekali," kata Haris.
Baca: Sebelum Tewas dengan 9 Luka Tusuk, Hilarius dan Kawan-kawannya Pesta Miras di Ancol
Menurutnya, elemen civil society termasuk media masa perlu menolak dengan keras upaya-upaya menjinakan KPK tersebut.
"Mindset semacam itu lah yang semestinya kita tolak. Kita maksudnya berbagai elemen civil society, termasuk anda-anda di media. Jadi kita harus menolak berbagai upaya menjinakan KPK melalui keterlibatan intensif institusi kepolisian dalam seleksi capim KPK," kata Haris.