Sejumlah ahli bidang transportasi dan pelayaran menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum terkait Rancangan Undang-Undang RUU Perubahan atas UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang diselenggarakan oleh Komite II DPD RI, pada Rabu (10/7) di Ruang Rapat Komite II DPD RI.
Beberapa alasan yang mendorong agar revisi UU Pelayaran segera dilaksanakan adalah tumpang tindihnya kebijakan di sektor pelayaran dan usia UU yang sudah lebih dari 10 tahun.
Alasan perlunya revisi UU Pelayaran ditambahkan oleh empat ahli di bidang transportasi pelayaran yang menjadi narasumber dalam RDPU tersebut. Keempat ahli dimaksud adalah Ibrahim Khoirulrahman dari Samudera Indonesia, Ajiph Razifwan Anwar dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Yandri Kurniawan Ahli Hubungan Internasional FISIP UI, serta Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institut (NMI).
"Komite II DPD RI berterima kasih atas dukungan dan masukan yang disampaikan para ahli transportasi dan pelayaran dalam rangka revisi UU Pelayaran yang diinisiasi oleh DPD,” ujar Ketua Komite II DPD RI, Aji Muhammad Mirza Wardana saat memimpin RDPU yang dihadiri sejumlah anggota DPD RI dari berbagai daerah pemilihan.
RDPU ini digelar terkait pembahasan Rancangan Undang-undang Perubahan atas UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Dalam paparannya, Ibrahim Khoirulrahman menjelaskan, RUU ini harus memberi ruang agar dunia pelayaran bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perekonomian nasional. Alasannya, Indonesia sebagai negara kelautan memiliki potensi yang sangat besar dalam perekonomian.
“Namun, saat ini kontribusinya baru satu digit, jauh lebih kecil di banding sector darat maupun udara. Padahal sektor pelayaran tergolong padat modal,” Ibrahim mengingatkan.
Sejalan dengan masukan dari Ibrahim, Dewan Penasehat MTI Ajiph Razifwan Anwar mengingatkan tentang biaya logistik di tanah air yang tergolong malah di Asia, yakni 24 persen dari Product National Bruto (PDB). Ajiph Razifwan mendesak, dengan UU yang akan direvisi nanti, biaya logistic perlu segera diturunkan.
"Kita bangun infrastruktur pelabuhan mahal-mahal, harusnya bisa menurunkan biaya logistik yang cukup tinggi,” paparnya.
Dewan Penasehat MTI ini menambahkan, dalam RUU Perubahan atas UU tentang Pelayaran, perlu menegaskan tentang tugas dan fungsi regulator pelabuhan. Regulator pelabuhan tidak hanya menjamin dan mengawasi kelancaran arus barang di pelabuhan, juga bertanggung jawab terhadap pencapaian kinerja operasional pelabuhan, sesuai standar Ïnternational Best Practices, sehingga kontribusi terhadap perekonomian nasional yang optimal serta efisiensi sektor logistik dan daya saing kapal nasional dapat tercapai.
Dalam RDPU ini juga muncul desakan agar RUU yang tengah dibahas perlu memberi ruang kepada daerah terkait kewenangan di bidang pelayaran, terutama sektor pelabuhan. Selama ini, ungkap Siswanto Rusdi, aktifitas di pelabuhan yang cukup padat ternyata tidak berkorelasi dengan kontribusi yang diterima daerah.
“Namun, kontribusi terhadap daerah yang aktivitas pelabuhan dengan pelayarannya yang sangat padat, tidak signifikan, sehingga ada kecemburuan,” Direktur NMI ini membandingkan.
Dalam rapat ini Ahmad Kennedy, anggota DPD RI asal pemilihan Bengkulu juga berharap, revisi UU Pelayaran itu nantinya membuat pelaku usaha yang berurusan dengan pelabuhan dan pelayaran bisa berusaha dengan lebih mudah dan efisien.
“Jangan sampai peraturan yang kita buat malah menyusahkan pelaku usaha di daerah. Yang diperlukan, bagaimana Rancangan Undang-undang Perubahan lebih efektif ketika dimpleentasikan,” pinta Ahmad yang juga mantan Walikota Bengkulu itu.
Pembahasan RUU Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2008 ini sudah berlangsung sejak Januari lalu. Selain mengundang ahli transportasi, Komite DPD RI juga mengundang berbagai pihak, untuk mendapat masukan. Di antaranya dari Kementerian Perhubungan, INSA (Indonesian National Shipowners Association), asosiasi pengusaha pelayaran niaga. Ini merupakan RDPU terakhir, dan Komite II DPD akan melakukan uji sahih di Padang, 15 Juli 2019. (*)