Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melanjutkan penyidikan kasus korupsi atas Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) terhadap obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Terkait itu, penyidik KPK hari ini mengagendakan pemeriksaan 4 orang saksi.
Salah satu dari empat saksi itu adalah mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Selain Laksamana, penyidik juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glenn Muhammad Surya Yusuf, mantan Deputi Kepala BPPN Farid Harianto dan seorang PNS Edwin H Abdulah.
"Keempat saksi diperiksa untuk tersangka SJN (Sjamsul Nursalim)," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah kepada pewarta, Rabu (10/7/2019).
Baca: Tahun Depan, 38 Terminal di Indonesia Bakal Diperbaiki
Baca: Sosok Rafdi, Putra Wakil Wali Kota Tidore yang Jadi Kuli Bangunan, sering Dicemooh Orang
Baca: Melihat Rekor Pertemuan, Orang Ini Bisa Jadi Kartu AS Persib saat Melawan Persija
Baca: Calon Suami Tak Sanggup Bayar Uang Mahar Rp 10 Juta, Perempuan Ini Pilih Bunuh Diri
Febri mengatakan, penyidikan kasus BLBI akan tetap berjalan sesuai hukum acara berlaku. Sementara, hal lain, kata dia, sampai saat ini penyidik KPK juga belum menerima pemberitahuan siapa yang ditunjuk dan diberikan surat kuasa khusus oleh Sjamsul Nursalim dan sang istri Itjih Nursalim untuk menangani perkaranya.
Sebelumnya, mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung dilepaskan dari Rutan KPK, Selasa malam kemarin. Hal ini menyusul putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi Syafruddin.
Dengan bebasnya Syafruddin, banyak pihak menganggap putusan MA tersebut juga bisa menggugurkan penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Sebab, dua tersangka ini merupakan pengembangan dari penyidikan perkara Syafruddin.
Dalam kasus ini, Sjamsul dan Itjih diduga KPK melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sekitar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun.
Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 Miliar.