Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso.
Hari ini penyidikan difokuskan kepada Bupati Kepulauan Meranti, Irwan Nasir. Irwan diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Indung, orang kepercayaan Bowo Sidik yang juga staf PT Inersia.
Diperiksa selama 4 jam di dalam kantor KPK, Irwan Nasir mengaku tidak mengenal Bowo Sidik.
"Saya enggak tau, enggak pernah ketemu sama Pak Bowo," ucap Irwan selepas pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2019).
Selain ditelisik KPK terkait asal-usul penerimaan gratifikasi Bowo Sidik, Irwan juga menyerahkan sejumlah dokumen Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada penyidik.
"Dokumen DAK tadi ada beberapa lah yang dibutuhkan," tutur Irwan.
Namun Irwan mengklaim tidak tahu-menahu proses pengusulan DAK di Meranti. Karena saat itu, ia masih belum menjabat sebagai Bupati.
Irwan juga tidak ingat nilai DAK yang didapat Kabupaten Kepulauan Meranti. "Saya enggak ingat, itu kan ada di data rekap Kementerian Keuangan. Jadi saya tidak bisa ngomong berapa. Karena saya sifatnya hanya mengonfirmasi, terus menyerahkan data yang dibutuhkan," katanya.
Diketahui, pemeriksaan terhadap Irwan Nasir merupakan penjadwalan ulang dari rencana pemeriksaan pada hari Selasa (9/7/2019) lalu.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menerangkan, penyidik mendalami pengetahuan dan peran Irwan dalam pengurusan DAK di Kabupaten Meranti.
"Serta hubungan dengan anggota DPR-RI terkait pengurusan anggaran tersebut," ujar Febri kepada pewarta, Kamis (11/7/2019).
Selain kasus gratifikasi, Bowo dan anak buahnya, Indung juga menyandang status tersangka penerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti terkait kerja sama bidang pelayaran menggunakan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia.
KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso dan anak buahnya, staf PT Inersia bernama Indung serta Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti sebagai tersangka.
Bowo melalui Indung diduga menerima suap dari Asty dan petinggi PT Humpuss Transportasi Kimia lainnya terkait kerja sama bidang pelayaran menggunakan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia.
Tak hanya suap dari PT Humpuss Transportasi Kimia, Bowo juga diduga menerima gratifikasi dari pihak lain. Gratifikasi yang diterima Bowo tersebut diduga terkait pengurusan di BUMN, hingga soal Dana Alokasi Khusus (DAK) di sejumlah daerah.
Secara total, suap dan gratifikasi yang diterima Bowo mencapai sekitar Rp8 miliar. Uang tersebut dikumpulkan Bowo untuk melakukan serangan fajar pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.
Baca: Pose Dua Jari Ratna Sarumpaet di Sidang Vonis Kasus Hoaks
Untuk Asty, saat ini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Sebelumnya, KPK sedang mengidentifikasi proses penggunaan anggaran di Kabupaten Mihanasa Selatan, Sulawesi Utara dan Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau terkait gratifikasi yang diterima tersangka Bowo Sidik.
Baca: Wuling Kenalkan Almaz 7-Seater dengan Voice Command Berbahasa Indonesia
Diketahui sebelumnya bahwa salah satu sumber gratifikasi terkait jabatan pada Bowo Sidik berasal dari pengurusan Dana Alokasi Khusus termasuk di dua kabupaten tersebut.
Sementara untuk Kabupaten Minahasa Selatan diduga gratifikasi pada Bowo Sidik terkait penganggaran revitalisasi empat pasar di sana.
Sebelumnya, KPK pada Rabu (26/6/2019) juga telah memeriksa Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu dan mengonfirmasi soal proses penganggaran revitalisasi empat pasar di Kabupaten Minahasa Selatan.
Panggil Adik Nazaruddin
Sebelumnya, Adik mantan Bendahara Umum Parta Demokrat M Nazaruddin, Muhajidin Nur Hasyim mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia seharusnya menjalani pemeriksaan atas kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Golkar Bowo Sidik Pangarso, di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (5/7/2019).
Muhajidin sedianya diperiksa untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka Indung, orang kepercayaan Bowo Sidik yang juga staf PT Inersia.
Baca: Dalami Kasus Bowo Sidik, Penyidik KPK Periksa Adik Eks Bendahara Umum Demokrat Nazaruddin
"Tidak hadir. Akan dikirim panggilan kedua," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Belum diketahui secara pasti kaitan Muhajidin dalam kasus gratifikasi yang menjerat Bowo. Namun, tim penyidik saat ini sedang menelusuri asal usul dari gratifikasi yang diterima Bowo.
Tak hanya kasus gratifikasi, Bowo dan anak buahnya, Indung juga menyandang status tersangka penerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti terkait kerja sama bidang pelayaran menggunakan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia.
Baca: KPK Periksa Mendag Enggartiasto Lukita untuk Kasus Bowo Sidik
Untuk mengusut kasus suap ini, penyidik KPK memeriksa Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Logistik Ahmadi Hasan. Dalam pemeriksaan ini, tim penyidik mendalami dugaan aliran dana terkait kasus suap tersebut.
"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait dugaan aliran dana terkait dengan kerja sama bidang pelayaran tersebut," ungkap Febri.
KPK menetapkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Bowo Sidik Pangarso dan anak buahnya, staf PT Inersia bernama Indung serta Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti sebagai tersangka.
Bowo melalui Indung diduga menerima suap dari Asty dan petinggi PT Humpuss Transportasi Kimia lainnya terkait kerja sama bidang pelayaran menggunakan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia.
Tak hanya suap dari PT Humpuss Transportasi Kimia, Bowo juga diduga menerima gratifikasi dari pihak lain. Gratifikasi yang diterima Bowo tersebut diduga terkait pengurusan di BUMN, hingga soal Dana Alokasi Khusus di sejumlah daerah.
Secara total, suap dan gratifikasi yang diterima Bowo mencapai sekitar Rp8 miliar.
Uang tersebut dikumpulkan Bowo untuk melakukan serangan fajar pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.