TRIBUNNEWS.COM - Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (10/7/2019).
Nurdin tiba di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan sekira pukul 14.25 WIB, Kamis (11/7/2019).
Ia mengenakan kemeja lengan panjang bertuliskan "Karang Taruna" dan celana hitam. Nurdin berjalan santai dengan pengawalan ketat penyidik KPK. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya.
Nurdin bersama Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri Edy Sofyan, Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Budi Hartono, dan seorang pihak swasta, Abu Bakar terjaring OTT KPK dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait izin prinsip reklamasi.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menerangkan, Nurdin diduga menerima suap dengan total 11.000 dollar Singapura dan Rp 45 juta.
Suap diduga terkait izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Kepulauan Riau Tahun 2018/2019.
Di luar penerimaan suap, KPK menduga Nurdin menerima gratifikasi terkait jabatannya. Sebab, KPK menemukan berbagai mata uang asing di rumah dinas Nurdin.
Yakni 43.942 dolar singapura sekira Rp 455 juta, 5.303 USD sekira Rp 74 juta, 5 euro sekira Rp 79 ribu, 407 ringgit sekira Rp 1,3 juta, 500 riyal sekira Rp 1,8 juta, dan Rp 132 juta. Jika ditotal jumlahnya hampir sekira Rp 666 juta. Duit dari berbagai negara itu berada di dalam tas warna hitam.
"Dari sebuah tas di rumah NBA," ujar Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (11/7/2019) malam.
Basaria mengatakan, Pemerintah Provinsi Kepri mengajukan pengesahan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZW3K) Provinsi Kepri untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri.
Baca: Selain Tangkap Gubernur Kepri KPK di Rumah Dinas, KPK Juga Amankan Tas Berisi Uang
"Keberadaan Perda ini akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan pengelolaan wilayah kelautan Kepri," ujarnya.
Bermula pada Mei 2019, ucap Basari, Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektar.
"Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung," kata Basaria.
Nurdin selaku Gubernur Kepri memerintahkan Edy Sofyan dan Budi Hartono membantu Abu Bakar agar izin yang diajukan disetujui.
Untuk mengakali hal tersebut, Budi memberitahu Abu Bakar supaya izinnya disetujui, maka ia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya.
"Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya," kata Basaria.
Kemudian, ucap Basaria, Budi memerintahkan Edy untuk melengkapi dokumen dan data pendukung agar izin Abu Bakar segera disetujui. Dokumen dan data pendukung yang dibuat Edy ternyata tidak berdasarkan analisis apa pun. Edy hanya sebatas meniru dari daerah lain agar persyaratannya cepat selesai.
"NBA diduga menerima uang dari ABK baik secara langsung maupun melalui EDS dalam beberapa kali kesempatan," kata Basaria.
Rinciannya, pada 30 Mei 2019, Abu Bakar memberikan uang 5.000 dollar Singapura dan Rp 45 juta kepada Nurdin.
Akhirnya, tanggal 31 Mei 2019 izin prinsip proyek reklamasi untuk kepentingan Abu Bakar diterbitkan dengan luas area 10,2 hektar. Pada tanggal 10 Juli 2019, Abu Bakar memberikan tambahan uang sebesar 6.000 dollar Singapura kepada Nurdin melalui Budi Hartono.
Dalam kasus ini, Nurdin disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Sementara Edy dan Budi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Kemudian Abu Bakar disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.