Mereka mendesak Presiden Jokowi untuk membentuk tim independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Namun, kata Wana, harapan itu terpaksa pupus.
"Sayangnya, Presiden seolah-olah melepaskan tanggung jawabnya sebagai panglima tertinggi. Padahal salah satu janji politiknya dalam isu pemberantasan korupsi yaitu ingin memperkuat KPK," katanya.
Wana menyoroti proses penanganan perkara oleh tim yang terkesan sebatas formalitas belaka.
Salah satunya, saat tim mengunjungi Kota Malang, Jawa Timur, untuk melakukan penyelidikan.
Hasil kerja tim saat itu, tidak disampaikan kepada publik.
Begitu pula hasil pemeriksaan terhadap Novel yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (20/6/2019) lalu.
"Ini mengindikasikan bahwa keseriusan tim tersebut patut dipertanyakan akuntabilitasnya. Sebab sejak tim dibentuk tidak permah ada satu informasi pun yang disampaikan ke publik mengenai calon tersangka yang diduga melakukan penyerangan," tandasnya.
Wana pun membandingkan teknis penanganan perkara Novel dengan sejumlah kasus besar yang pernah ditangani Polri.
Salah satunya, soal pengungkapan pelaku kasus pembunuhan di Pulomas, Jakarta Timur.
Menurut Wana, aparat hanya butuh waktu selama 19 jam pasca penyekapan korban untuk menangkap pelaku.
"Sedangkan untuk kasus Novel waktu penyelesaiannya lebih dari dua tahun. Hal ini diduga karena adanya keterlibatan elit atas penyerangan Novel," ungkapnya.
Karenanya, Wana mewakili ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi mendesak Presiden Jokowi untuk segera membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen agar menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi.
Selain itu, ia juga menuntut tim satgas supaya menyampaikan laporan penanganan kasus Novel kepada publik sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas.
Sementara itu, Tim Advokasi Novel Baswedan, Haris Azhar hanya bisa pasrah terhadap proses penanganan kasus kliennya yang dilakukan tim satgas Polri.
Ia menuding, negara tidak sepenuhnya serius untuk mengungkap kasus tersebut.
"Biarin saja. Sebelum ada tim itu, negara juga enggak ngurusin Novel," kata Haris.
Bahkan, KPK sebagai institusi yang mempekerjakan Novel ia anggap tidak peduli terhadap kasus kliennya.
"Pimpinan sekarang sudah mau take off, nyari tiket semua harga mahal. Sudah mau selesai, ngapain pusing," tandas Haris.
Dikonfirmasi terpisah, Anggota Tim Satgas Novel, Hendardi, menyampaikan hasil penanganan perkara tersebut belum bisa disampaikan kepada publik.
Hal ini lantaran proses penanganan masih berada dalam tahap penyelidikan.
"Kami mesti sampaikan laporan kepada Kapolri dulu yang memberikan mandat kepada tim, bukan kepada ICW atau siapapun," ujar Hendardi.
Ia menambahkan, pihaknya akan menyampaikan laporan kepada Kapolri Tito Karnavian sebagai penanggung jawab tim pekan depan. Laporan tersebut, katanya, berisi rekomendasi serta temuan terkait kasus penyiraman air keras Novel.
"Nanti selanjutnya setelah dipelajari oleh Kapolri terserah Kapolri bagaimana mekanismenya utk menyampaikan pada publik dan menindaklanjuti temuan dan rekomendasi kami," pungkasnya.
Baca: Pengakuan Novel Bamukmin soal Izin Unjuk Rasa di MK Dipatahkan Polisi, Jubir BPN Bereaksi
Seperti diketahui, Novel disiram air keras pada 11 April 2017 setelah mantan polisi itu melaksanakan salat Subuh berjemaah di masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Namun, pelaku penyiraman dan aktor intelektual yang membuat mata Novel cacat tak kunjung terungkap.