TRIBUNNEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Penyidik Polres Lhokseumawe kembali menangkap wanita berinisial J (21) asal Kabupaten Bireuen dalam dugaan penyebaran hoaks alias informasi bohong kasus pencabulan pimpinan pesantren, Kamis (18/7/2019).
Polisi menetapkan J sebagai tersangka karena menyebarkan informasi seakan-akan penanganan kasus pelecehan seksual di Pesantren AN, Kompleks Panggoi Indah, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, sebagai fitnah dan rekayasa polisi.
Dengan ditangkapnya J, maka sudah empat orang ditangkap dalam kasus ini.
Sebelumnya, 18 Juli 2019, tiga tersangka ditangkap yaitu HS (29) IM (19) dan NA (21), Kasat Reskrim AKP Indra T. Herlambang, dalam konferensi pers di Mapolres Lhokseumawe, Senin (22/7/2019) mengatakan, polisi mendeteksi seorang pelaku lainnya berinisial MS.
“MS mengirim pesan berisi hoaks soal kasus pelecehan seksual itu pada J lewat chat pribadi lalu diteruskan ke grup WhatsApp dengan nama Bidadari Syurga. Dari situ menyebar kemana-mana,” sebutnya.
Baca: Pasca Pertemuan Jokowi-Prabowo Harusnya Tak Ada Hoaks Provokatif
Baca: Tidak Mudah Pertahankan Citra Korporasi Saat Marak Kabar Hoaks
Dia menyebutkan, MS kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Lhokseumawe.
Dia mengatakan, informasi hoaks itu menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat dan menganggu proses penyelidikan yang sedang berlangsung di Polres Lhokseumawe.
Untuk kasus hoaks ini, para penyebar dijerat dengan Pasal 15 jo Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana subsider, Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 11/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 19/2016 tentang informasi dan transaksi Elektronik (ITE).
“Ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, AI dan MY ditangkap polisi atas dugaan pelecehan seksual terhadap santri di Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.
Keduanya ditahan di Mapolres Lhokseumawe.
Sejauh ini, polisi sudah mendeteksi 15 santri yang diduga menjadi korban, lima di antaranya telah dimintai keterangan.
Tangkal hoaks
Penyebaran konten hoaks dinilai dapat ditangkal melalui media massa arus utama (mainstream) untuk tetap menjadi penjaga informasi.
Media mendistribusikan informasi dalam bentuk berita yang bisa dipertanggung jawabkan secara kaidah jurnalistik.
"Semua orang bisa jadi wartawan, kan tidak semuanya baik-baik. Ada juga penjahat, ada yang anti Pancasila, dan lain-lain."
"Apa yang telah terjadi? Di sosmed banyak sekali konten yang isinya sampah, yakni hoaks, oleh karena itu masyarakat perlu di beri literasi tentang apa yang disebut hoax, bagaimana regulasinya, ada UU ITE dan lain-lain," ujar Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum, Hendri Subiakto, di Demang Caffe, Thamrin, Jakarta, Minggu (14/7/2019).
Hendri melanjutkan penanganan hoaks mencakup dari hulu, seperti literasi melalui diskusi publik. Selain itu ada media yang membuat fact checker, lembaga-lembaga, dan penegakan hukum.
Saat ini pemerintah tengah menggodok sanksi bagi platform sosial media atau chatting yang membiarkan hoaks beredar.
“Disini juga kita tekankan kepada platformnya, kalau ada hoaks, yang beredar di Facebook, mereka akan kita ingatkan supaya mereka punya mekanisme tidak membiarkan platformnya dipakai," ungkap Hendri.
Sementara itu, Pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan Aditya L Djono mengatakan poin terakhir atau penegakan hukum adalah yang terpenting dalam menangkal hoaks.
“Harus ada formulasi aturan yang bisa membatasi secara ketat, sekaligus memberikan sanksi secara tegas bagi yang menyebarluaskan informasi tidak benar. Hal ini untuk memberikan efek jera,” tutur Aditya.
Lewat penegakan hukum, para penyebar hoaks bisa mendapatkan efek jera.