Sebelumnya, Baiq Nuril merupakan Guru Honorer di SMAN 7 Mataram. Kasusnya berawal pada 2012 lalu. Saat itu, ia ditelepon oleh kepala sekolahnya, Muslim.
Percakapan telepon tersebut mengarah pada pelecehan seksual.
Karena selama ini kerap dituding memiliki hubungan dengan muslim, Nuril kemudian merekam percakapan tersebut pada telepon genggamnya.
Karena didesak teman-teman sejawatnya Nuril kemudian menyerahkan rekaman tersebut untuk digunakan sebagai barangbukti laporan dugaan pelecehan seksual atau pencabulan oleh muslim ke dinas pendidikan setempat.
Akibat laporan tersebut sang Kepala Sekolah akhirnya dimutasi. Karena tidak menerima, Muslim lalu melaporkan Nuril ke polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE karena menyebarkan rekaman percakapan tersebut.
Laporan itu membuat Nuril sempat ditahan oleh Kepolisian.
Di Pengadilan Negerin Mataram Nuril sebenarnya di Vonis bebas, namun Jaksa saat itu tidak puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Hakim MA justru memutus Nuril bersalah pada 26 September 2018. Ia dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Kasus tersebut kemudian mengundang simpati publik. Apalagi kemudian sang kepala sekolah Muslim justru malah mendapatkan Promosi jabatan sebagai kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Kota Mataram.
Selain itu, laporan Nuril adanya dugaan pelecehan seksual atau pencabulan oleh atasannya tersebut dihentikan Polda NTB dengan dalih kurangya bukti.
Kuasa hukum Nuril lalu mengajukan upaya hukum terakhir yakni Peninjauan Kembali (PK) ke MA pada Januari 2019. Pada 4 Juli, MA menolak PK yang diajukan kuasa hukum.
Baca: Amnesti Baiq Nuril akan Disahkan Melalui Paripurna DPR Pagi Ini
Dengan PK tersebut, Nuril kemudian memperjuangkan keadilan dengan meminta belas kasihan presiden.
Ia berharap Presiden memberikan Amnesti atas vonis MA kepadanya itu.
Diteruskan ke Presiden