Walaupun hadits di atas dho’if, menjual hasil sembelihan qurban tetap terlarang.
Alasannya, qurban disembahkan sebagai bentuk taqorrub pada Allah SWT yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh diperjualbelikan.
Sama halnya dengan zakat, jika harta zakat telah mencapai nishob (ukuran minimal dikeluarkan zakat) dan telah memenuhi haul (masa satu tahun).
Maka setelah itu harus serahkan kepada orang yang berhak menerima tanpa harus menjual padanya.
Dijelaskan bahwa dalam hal ini dimaksud tidaklah tepat praktek melakukan ibadah dengan menjual hasil kurban, termasuk yang sering terjadi adalah menjual kulit.
Larangan itu dijelaskan dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada kurban baginya.” (ibadah qurbannya tidak ada nilainya).
Secara jelas larangan menjual hasil sembelihan kurban ini disokong pendapat para Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Binatang qurban termasuk nusuk (hewan yang disembelih untuk mendekatkan diri pada Allah). Hasil sembelihannya boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Aku tidak menjual sesuatu dari hasil sembelihan kurban (seperti daging atau kulitnya, pen). Barter antara hasil sembelihan kurban dengan barang lainnya termasuk jual beli.”
Sedangkan dalam pendapat Imam Abu Hanifah dibolehkannya menjual hasil sembelihan kurban, namun hasil penjualannya disedekahkan.
Perbolehan menurut Imam Abu Hanafiah ini yang dimaksud adalah jika hasil penjualan ditukar dengan barang sebagai asas pemanfaatan.
Adapun tentang pembagiannya, Melansir dari Serambinews.com pendakwah Aceh, Ustaz Drs Syukuri Daud BA menyampaikan kulit hewan kurban dapat dibagikan sama rata.
"Masing-masing mendapatkan kulit sebesar telapak tangan. itu tidak apa-apakan, dari pada hanya dibuang saja, sehingga menjadi sia-sia," ujarnya.