Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta.
"Pada dua perkara sebagaimana dijelaskan di atas, sejak 10 Juli 2019 KPK melakukan penyidikan dengan dua orang sebagai tersangka yaitu IK dan BTO," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Iwa ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan Pembahasan Substansi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Baca: Sikapi Tudingan IPW Soal Banyak KKN, Febri Diansyah: Itu Isu Daur Ulang Untuk Menyerang KPK
Baca: Peran Perempuan Dibutuhkan KPK Sebagai Pucuk Pimpinan
Baca: PAN Setuju Imbauan Moral KPK Agar Parpol tak Calonkan Mantan Koruptor
Baca: Warga Tapanuli Utara Heboh Sambut Kedatangan Jokowi
Sementara Bortholomeus yang tercatat sebagai mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang jadi tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Saut mengatakan Iwa diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara tersangka Bortholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2-001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan pasal 55 ayat (`1) ke-1 KUHP.
Iwa Karniwa sebelumnya telah memberi kesaksian dalam kasus suap Meikarta yang menyeret Bupati Neneng.
Jaksa di persidangan mempertanyakan soal pertemuannya dengan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, di KM 72 tol Purbaleunyi pada Desember 2017.
Baca: BREAKING NEWS: Warga Kloangpopot, Sikka Geger, Mayat Korban Pembunuhan Tergeletak di Jalan
Baca: Rekrutmen Pegawai Universitas Diponegoro Non ASN, Posisi Dosen Program Studi di Luar Kampus Utama
Iwa pun membenarkan pertemuan tersebut. Namun dia diminta oleh anggota DPRD Jabar asal Partai Demokrarasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Waras Wasisto, untuk datang, dan akhirnya dikenalkan dengan Neneng Rahmi.
"Saya tidak tahu hanya diminta ketemu di rest area KM 72. Saya bilang kebetulan baru hadir rapat di pusat. Saya dikontak Pak Waras, ada yang minta ketemu saya. Saya bilang di kantor saja selesai saya pulang ke rumah," kata Iwa saat persidangan di Tipikor, Bandung, Senin (28/1/2019).
Pertanyaan itu dilontarkan jaksa karena Iwa disebut-sebut menerima duit Rp1 miliar terkait pengurusan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) proyek Meikarta.
Nama Iwa pertama kali disebut oleh Bupati nonaktif Bekasi, Neneng Hasanah Yasin.
Dalam persidangan disebutkan Iwa menerima uang dari Neneng Rahmi Nurlaili yang menjabat Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
Neneng menyebut permintaan itu terkait kepentingan Pilgub Jabar.
Divonis 6 tahun
Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung menyatakan eks Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yassin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap sebagaimana diatur di Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
"Menjatuhkan pidana penjara pada Neneng Hasanah Yasin selama 6 tahun, pidana denda Rp 250 juta subsidair 4 bulan penjara, membayar uang pengganti Rp 68 juta lebih subsidair 6 bulan pidana penjara," ujar Judijanto Hadilesmana, Ketua Majelis Hakim.
Pidana penjara yang dijatuhkan hakim untuk Neneng lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yakni 7 tahun 6 bulan.
Baca: Tata Cara Mengqadha atau Membayar Utang Puasa Lengkap dengan Penjelasannya
Baca: Warga Tionghoa Sering Terlepas dari Keluarganya Ketika Memeluk Islam
Baca: YLBHI Nilai Kepolisian Indonesia Tidak Berimbang Menegakkan Hukum
Baca: Ustaz Sambo Minta Pemeriksaannya Sebagai Saksi Eggi Sudjana Ditunda
Majelis hakim juga sependapat dengan jaksa yang mememinta pencabutan hak politik pada Neneng Hasanah Yassin.
"Mencabut hak pilih Neneng Hasanah Yassin selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ujar Judijanto.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Neneng sebagai Bupati Bekasi, terbukti menerima uang Rp 10,83 miliar dari E Yusuf Taufik.
Sumber uang berasal dari Edi Dwi Soesianto dan Satriyadi dari pengembang Meikarta. Pemberian uang terkait pengurusan izin peruntukan dan penggunaan tanah (IPPT) seluas 83,4 hektare.
Selain itu, majelis hakim juga menolak permohonan justice collaborator yang diajukan Neneng karena selama persidangan, dianggap tidak mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.
Sehingga, baik Neneng maupun terdakwa lainnya tidak memenuhi syarat untuk diberikan justice collaborator.
Majelis hakim juga menyatakan Kepala DPMPTSP Dewi Tisnawati, Kepala Dinas Damkar Sahat Banjarnahor, Kepala Dinas PUPR Jamaludin dan anak buahnya, Kabid Perumahan Neneng Rahmi Nurlaeli bersalah melakukan tindak pidana korupsi, menerima suap sebagaimana diatur di Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
Ke empat terdakwa yang menerima suap perizinan IMB hingga alat proteksi pemadam kebakaran di 53 tower, dijatuhi pidana penjara masing-masing selama 4,5 tahun.
Dalam perkara ini, Dewi Tisnawati terbukti menerima Rp 400 juta terkait pengurusan 53 IMB, Sahat Banjarnahor senilai Rp 636 juta terkait suap pemasangan alat proteksi pemadam kebakaran, Neneng Rahmi Nurlaili terbukti menerima Rp 170 juta dan Jamaludin menerima Rp 1 miliar lebih terkait pengurusan sarana teknis, siteplan dan block plan.
Atas vonis hakim dan pidana penjara yang dijatuhkan, ke empat terdakwa menyatakan pikir-pikir.
Pantauan Tribun, terdakwa Neneng Hasanah Yassin, Jamaludin, Dewi Tisnawati dan Neneng Rahmi Nurlaili tampak lebih tenang dibanding pada sidang sebelumnya.
Neneng Hasanah Yasin tampak Terkecuali Sahat Maju Banjarnahor yang tampak menangis sesenggukan.
Neneng Hasanah Yassin misalnya, tampak menggoyang-goyangkan badannya serta tanganya menepuk-nepuk kaki kirinya.
Atas vonis dan putusan hakim, jaksa KPK, Yadyn menilai putusan hakim mengadopsi tuntutan dan replik dari tim jaksa KPK.
KPK masih menungu putusan lengkap diterima untuk kemudian berkoordinasi dengan pimpinan KPK terkait upaya hukum.
"Soal putusan 6 tahun dan 4,5 tahun untuk terdakwa, itu sudah 2/3 dari tuntutan kami," ujar Yadyn.