Ia menjelaskan, praktik rektor asing memimpin perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi publik di suatu negara lumrah dilakukan di luar negeri, terutama di negara-negara Eropa, bahkan Singapura juga melakukan hal yang sama.
Nasir pun mencontohkan, Nanyang Technological University (NTU) yang baru didirikan pada 1981.
Namun, saat ini sudah masuk 50 besar dunia dalam waktu 38 tahun.
Baca: Heboh Mobil Masuk Areal Kuburan di Madiun, Pengemudi Mengira Tidur di Rumah Tahunya di Atas Nisan
Baca: Ular Piton Panjang 6 Meter Gigit dan Lilit Wanita di Muna, Begini Perjuangan Suami Menyelamatkannya
Baca: Terbakar Api Cemburu, Pria di Luwu Bunuh Bayinya, Aniaya Ibu Kandung, dan Bakar Rumah Tetangga
“NTU itu berdiri tahun 1981. Mereka di dalam pengembangan ternyata mereka mengundang rektor dari Amerika dan dosen-dosen beberapa besar. Mereka dari berdiri belum dikenal, sekarang bisa masuk 50 besar dunia,” papar Nasir.
Menurutnya, dengan merekrut rektor luar negeri dan dosen luar negeri, diharapkan ranking perguruan tinggi Indonesia dapat meningkat serta berkualitas dunia.
Dirinya melihat banyaknya masyarakat Indonesia yang harus pergi ke luar negeri untuk bersekolah, termasuk NTU agar mendapatkan pendidikan tinggi terbaik.
“Karena rektor asing dan kolaborasinya yang ada di Singapura, (NTU) bisa mendatangkan mahasiswa dari Amerika, Eropa, bahkan Indonesia ke sana,” ungkap Nasir.
Salah satu aspek yang sering dibahas saat mengundang rektor luar negeri, kata Nasir, adalah gaji rektor asing tersebut yang diperkirakan akan memberatkan anggaran PTN yang dipimpinnya.
“Saya harus bicara dengan Menteri Keuangan juga, bagaimana kalau rektor dari luar negeri, kita datangkan ke Indonesia. Berapa gaji yang harus dia terima? Berapa komparasi negara-negara lain? Bagaimana bisa dilakukan, tetapi tidak mengganggu stabilitas keuangan di perguruan tinggi,” paparnya.
Diketahui, pemerintah menargetkan pada 2020 sudah ada perguruan tinggi yang dipimpin rektor terbaik dari luar negeri dan pada 2024 jumlahnya ditargetkan meningkat menjadi lima PTN.